Sumpah Pemuda (Ilustrasi Gambar: Gabriel Hartanto) |
Penulis: Gabriel Hartanto
Salah satu pembeda antara Indonesia dengan bangsa-bangsa yang ada di
seantero dunia adalah dalam hal Toleransi. Karakter “Bhineka Tunggal Ika”
menjadi hal yang dirujuk oleh banyak pemimpin dunia untuk dicontoh. Oleh
karakter itu, bangsa ini telah saling berinteraksi dalam damai. Hanya di
Indonesia lebih dari 300 kelompok etnik / suku bangsa, tepatnya ada 1.340 suku
bangsa menurut sensus BPS tahun 2010, dapat hidup berdampingan. Belum lagi
banyaknya jenis kepercayaan warisan leluhur yang masih dianut oleh pendduduk
yang ada di Indonesia, selain 6 agama yang resmi (Islam, Katolik, Kristen
Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu / Confucianism), antara lain; Hindu
Bali (Dharma), Aluk Todolo (Tana Toraja), Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten),
Agama Djawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat), Buhun (Jawa Barat), Kejawen
/Kebatinan (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Parmalim (Sumatra Utara), Pemena
Kaharingan (Kalimantan), Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara), Tolotang
(Sulawesi Selatan), Wetu Telu (Lombok, Nusa Tenggara Barat), Naurus (pulau
Seram, Maluku), Aliran Mulajadi Nabolon (Sumatra Utara), Marapu (Sumba),
Purwoduksino, Budi Luhur, Pahkampetan, Bolim, Basora, Sirnagalih, Koda kirin
(Pulau Adonara, Nusa Tenggara Timur, Buda Tengger, Buda Jawi Wisnu.
seantero dunia adalah dalam hal Toleransi. Karakter “Bhineka Tunggal Ika”
menjadi hal yang dirujuk oleh banyak pemimpin dunia untuk dicontoh. Oleh
karakter itu, bangsa ini telah saling berinteraksi dalam damai. Hanya di
Indonesia lebih dari 300 kelompok etnik / suku bangsa, tepatnya ada 1.340 suku
bangsa menurut sensus BPS tahun 2010, dapat hidup berdampingan. Belum lagi
banyaknya jenis kepercayaan warisan leluhur yang masih dianut oleh pendduduk
yang ada di Indonesia, selain 6 agama yang resmi (Islam, Katolik, Kristen
Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu / Confucianism), antara lain; Hindu
Bali (Dharma), Aluk Todolo (Tana Toraja), Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten),
Agama Djawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat), Buhun (Jawa Barat), Kejawen
/Kebatinan (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Parmalim (Sumatra Utara), Pemena
Kaharingan (Kalimantan), Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara), Tolotang
(Sulawesi Selatan), Wetu Telu (Lombok, Nusa Tenggara Barat), Naurus (pulau
Seram, Maluku), Aliran Mulajadi Nabolon (Sumatra Utara), Marapu (Sumba),
Purwoduksino, Budi Luhur, Pahkampetan, Bolim, Basora, Sirnagalih, Koda kirin
(Pulau Adonara, Nusa Tenggara Timur, Buda Tengger, Buda Jawi Wisnu.
Jejak Toleransi silam Indonesia dapat kita temui
antara lain di perbukitan karst di Baturaja, Sumatra Selatan. Di Gua Harimau,
di hulu Sungai Ogan telah ditemukan kubur masif berjumlah 81 individu dengan
kerangka-kerangka masa prasejarah nenek moyang bangsa Indonesia beristirahat.
Sebuah pekuburan kerukunan multiras yang sempat berdampingan, Austromelanesoid
(bangsa yang berburu dan mengumpulkan makanan) dan Mongoloid (bangsa yang
bercocok tanam) yang datang 3.500 tahun kemudian.
antara lain di perbukitan karst di Baturaja, Sumatra Selatan. Di Gua Harimau,
di hulu Sungai Ogan telah ditemukan kubur masif berjumlah 81 individu dengan
kerangka-kerangka masa prasejarah nenek moyang bangsa Indonesia beristirahat.
Sebuah pekuburan kerukunan multiras yang sempat berdampingan, Austromelanesoid
(bangsa yang berburu dan mengumpulkan makanan) dan Mongoloid (bangsa yang
bercocok tanam) yang datang 3.500 tahun kemudian.
Selain Gua Harimau, pembauran kebudayaan kedua ras
tersebut juga bisa ditemukan jejaknya di Loyang Mendale dan Loyang Ujung
Karang, yang menunjukkan pekuburan dengan kerangka ditindih batu, membujur,
juga dalam posisi menekuk. Dalam bahasa Aceh Takengon, gua disebut loyang.
Toleransi keberagaman tetap menjadi semangat leluhur
kita sampai kepercayaan dengan sistem agama mulai dikenal di Nusantara. Terbukti
para penganut Hindu-Buddha berdampingan rukun, termasuk para rajanya. Para
penguasa Dinasti Syailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno (Medang)
pada abad ke-8 hingga ke-10 Masehi, merupakan para penganut Buddhis, sebagai
agama mayoritas rakyatnya saat itu namun memperhatikan agama lain yang juga
berkembang dan terlihat pada harmoni Candi Prambanan yang bercorak Hindu
berdampingan dengan Candi Sewu yang merupakan arsitektur monumental berlatar
Buddhis.
kita sampai kepercayaan dengan sistem agama mulai dikenal di Nusantara. Terbukti
para penganut Hindu-Buddha berdampingan rukun, termasuk para rajanya. Para
penguasa Dinasti Syailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno (Medang)
pada abad ke-8 hingga ke-10 Masehi, merupakan para penganut Buddhis, sebagai
agama mayoritas rakyatnya saat itu namun memperhatikan agama lain yang juga
berkembang dan terlihat pada harmoni Candi Prambanan yang bercorak Hindu
berdampingan dengan Candi Sewu yang merupakan arsitektur monumental berlatar
Buddhis.
Pada era kolonial, bangsa Nusantara pernah dicoba
untuk “dikotakan”; orang Jawa di satu tempat, Banten ditempat lain, dan Ambon
di tempat berbeda, namun tidak berhasil. Mereka kemudian bersatu membentuk
suatu komunitas urban. Tahun 1908, para pelajar Hindia di negeri belanda
membentuk organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia dengan nama “Indische
Vereeniging “ (Perhimpunan Indonesia). Sejak itu, kesadaran untuk bersatu terus
menguat dan puncaknya pada peristiwa Sumpah Pemuda. Para pelajar Indonesia
menyadari pentingnya semangat ini untuk bisa membebaskan Indonesia dari
dominasi kolonial.
untuk “dikotakan”; orang Jawa di satu tempat, Banten ditempat lain, dan Ambon
di tempat berbeda, namun tidak berhasil. Mereka kemudian bersatu membentuk
suatu komunitas urban. Tahun 1908, para pelajar Hindia di negeri belanda
membentuk organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia dengan nama “Indische
Vereeniging “ (Perhimpunan Indonesia). Sejak itu, kesadaran untuk bersatu terus
menguat dan puncaknya pada peristiwa Sumpah Pemuda. Para pelajar Indonesia
menyadari pentingnya semangat ini untuk bisa membebaskan Indonesia dari
dominasi kolonial.
Ribuan tahun masyarakat Nusantara telah hidup dalam
toleransi dan oleh semangat itu juga para pendiri bangsa ini menyematkan
Bhineka Tunggal Ika di kaki Garuda. Toleransi antar masyarakat khususnya umat
beragama di Indonesia, merupakan hal yang amat fundamental dan harus menjadi
perhatian pemerintah untuk mewujudkannya. Tidak boleh ada pihak manapun, yang
mengancam toleransi kita. Setiap pihak, entah itu pemimpin, ormas, maupun
pribadi yang dapat menimbulkan ancaman bagi terkoyaknya toleransi kita, harus
menjadi musuh bersama dan diperangi serta di hancurkan keberadaannya di bumi
Indonesia.
toleransi dan oleh semangat itu juga para pendiri bangsa ini menyematkan
Bhineka Tunggal Ika di kaki Garuda. Toleransi antar masyarakat khususnya umat
beragama di Indonesia, merupakan hal yang amat fundamental dan harus menjadi
perhatian pemerintah untuk mewujudkannya. Tidak boleh ada pihak manapun, yang
mengancam toleransi kita. Setiap pihak, entah itu pemimpin, ormas, maupun
pribadi yang dapat menimbulkan ancaman bagi terkoyaknya toleransi kita, harus
menjadi musuh bersama dan diperangi serta di hancurkan keberadaannya di bumi
Indonesia.
Hanya toleransi yang bisa menyatukan masyarakat di
Indonesia dan toleransi juga yang menjaga Indonesia tidak bubar. Toleransi
membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Jaga toleransi dengan mengajarkan
sikap toleransi sejak kecil. Belajar kerukunan bukan dari sekolah, tapi dimulai
dari keluarga.
Indonesia dan toleransi juga yang menjaga Indonesia tidak bubar. Toleransi
membawa bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Jaga toleransi dengan mengajarkan
sikap toleransi sejak kecil. Belajar kerukunan bukan dari sekolah, tapi dimulai
dari keluarga.
***
* Penulis adalah Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Umat
Berikut salah satu lagu Sumpah Pemuda karya anak bangsa:
Berikut salah satu lagu Sumpah Pemuda karya anak bangsa: