15 Januari 2025
Yudhie Haryono, Ph.D. di tengah-tengah kegiatan wawancara dalam acara Diaolog Pagi MUKI. Yudhie Haryono adalah dosen
sekaligus Sekretaris Majelis Wali Amanah (MWA) UTIRA Jakarta.
(Foto: Gabriel Hartanto

Penulis: Mihardo Saputro

JAKARTA, suaraumat.com – Dosen sekaligus Sekretaris Majelis
Wali Amanah (MWA) UTIRA Jakarta Yudhie Haryono, Ph.D mengatakan bahwa ada
beberapa hal yang terlupakan dari nusantara sehingga akhir-akhir ini bangsa
Indonesia sering mengalami konflik. Bahkan jika  hal tersebut terus berlanjut, sebagai entitas yang berdaulat sangat mungkin Indonesia akan bubar.
Berikut wawancara lengkap suaraumat.com
bersama Yudhie Haryono, Ph.D:
Apa
hal terpenting tentang nusantara yang dilupakan orang sekarang ini?
Dalam kajian yang kami lakukan, ada
lima yang sudah terlupakan dari nusantara, pertama soal mental nusantara.
Berapa banyak kita mewarisi mental nusantara seperti mental bahari, mental
menjelajah, mental dispora dan itu makin hari makin dilupakan. 



Kedua mental belajar atau kurikulum.
Kurikulum-kurikulum tentang nusantara yang dulu sempat luas sekali, misalnya
pengobatan dan seterusnya mulai dilupakan. 



Ketiga soal agama-agama lokal atau
agama-agama yang orang lain menuduhnya sebagai animisme dan dinamisme. Padahal
semua kepercayaan itu punya nama, cuma mungkin orang nusantara atau orang
indonesia purba tidak ingin menyampaikan namanya sehingga orang luar menamakan
itu animisme atau dinamisme. Nah, di dalam agama-agama lokal itu sebenarnya
kita memiliki banyak sekali kesejatian, banyak sekali apa yang disebut kedirian
yang hari ini mulai dilupakan, bahkan dimusuhi sebagai
  agama yang tidak bertuhan.


Keempat kita melupakan kejatidirian.
Jadi beberapa hal yang dulu menjadi kebanggan kita sebagai orang yang menjadi
penemu “A” atau penemu “B” misalnya, mulai kurang dipercayai sehingga orang
mengkarboncopy jati diri dari bangsa asing untuk menjadi dirinya. Kita
seakan-akan melupakan bahwa kita adalah orang bahari, orang yang bisa terbang,
orang yang bisa berdiam diri, orang yang bisa bercocok tanam, orang yang bangga
dengan dirinya sendiri lalu hilang dan menggantinya dengan jati diri orang lain
atau bangsa lain. 




Terakhir yang juga sangat signifikan,
kita kehilangan apa yang disebut cita-cita. Nusantara itu punya cita-cita untuk
mengatakan “Dunia ini sebenarnya bagian dari kita,” bagian dari mana? Bagian
dari cara kita mengelola untuk bersama-sama menjadi manusia, bersama-sama
saling menghormati. Namun sekarang cita-cita itu terkubur dan berubah menjadi
“Kita bagian dari mereka,” kita mencontoh mereka, kita berekonomi ala mereka,
kita beragama ala mereka dan kita hidup ala mereka sehingga akhir-akhir ini
kita sering konflik karena kita melupakan cita-cita bersama. 



Itulah lima hal
yang menurut saya telah hilang dari nusantara.

Jika lima
hal itu berlanjut, apakah Indonesia akan bubar?
Kalo sebagai sebuah nama mungkin
tidak akan bubar, mirip seperti nama Majapahit, nama Sriwijaya, nama Demak, nama
Ngayogyakarta masih ada sampai sekarang, tapi sebagai entitas yang berdaulat
sangat mungkin bubar. Kenapa demikian? Karena kita juga melihat entitas
kedaulatan Majapahit hilang, entitas kedaulatan Sriwijaya hilang, bahkan
entitas kedaulatan Ngayogyakarta juga menurut saya sudah mulai hilang walaupun
masih ada sisa-sisanya, artinya Indonesia juga bisa  mengalami kehilangan kedaulatan dan itu mulai
terasa akhir-akhir ini, terutama kedaulatan atas uang. 



Kita sama sekali tidak
punya daulat untuk mengatakan rupiah kita berapa, dipakai dimana dan dalam
rangka apa uang asing boleh atau tidak masuk ke dalam negara ini. Jadi agar
tidak bubar otomatis discourse tentang
kedaulatan, discourse tentang
kemerdekaan kembali itu perlu disampaikan dan metodenya adalah mengembangkan
kurikulum Ketahanan Nasionanl (Tannas).
Lantas apa
tanggapan anda tentang remaja yang belakangan ini marak ikut berdemo turun ke
jalan?
Menurut saya, secara makro peristiwa
itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan 
masa depan bangsa Indonesia. Indonesia itu adalah ‘Kurukshetra,’ tempat
bertempurnya antara kuasa-kuasa global menggunakan pendekatan yang destruktif
maupun menggunakan pendekatan yang konstruktif, jadi mereka main pada wilayah deconstruktionism dan mereka juga main
di wilayah contruktionism sepanjang
dua hal itu menguntungkan. Jadi aksi maupun reaksi yang dikerjakan oleh
anak-anak maupun mahasiswa sebenarnya tidak ada urusannya dengan masa depan
Indonesia. Masa depan bangsa Indonesia ditentukan oleh petarungan besar antara privat kapitalism dan  side kapitalism
antara China dan Amerika. 



Tetapi dari pendekatan mikro memang
kehadiran mereka menurut saya sangat bagus sebagai otokritik kepada dua hal,
pertama kritik kepada lembaga legislatif karena seharusnya yang mengkritik
pemerintah itu legislatif dan kita tidak melihat satu kritik yang konstruktif
dari legislatif terhadap eksekutif. Lalu yang ke dua tentu saja kepada
pemerintah, karena bagaimanapun juga pemerintah itu berkewajiban menjalankan
janji-janjinya saat pemilu maupun saat berkuasa. 



Dari mana janji itu ditunaikan?
dari konstitusi. Kalo dianggap agak melenceng, bahkan menghianati konstitusi,
maka siapapun yang ada dalam negara itu, mau dia anak-anak, mau dia remaja, mau
orang tua, mau dewasa, mau dia perempuan atau laki-laki punya kewajiban yang
sama untuk melakukan
  kritik. Dan
harusnya kritik itu ditanggapi dengan
 
biasa-biasa saja. Kalo toh seandainya terjadi destrukif, terjadi semacam
anarkis, saya kira itu bagian dari ‘drama’ yang dimainkan oleh kepolisian dalam
rangka memastikan mendapatkan anggaran, sebab kalo cuma damai maka alat
alutista tidak bisa ditambah, kalo damai tidak mendapatkan anggaran untuk
penanganan yang sifatnya menakutkan dan seterusnya. 



Jadi kita harus memahami
bahwa ‘ketakutan’ itu seringkali dipakai oleh siapapun, termasuk polisi dan
tentara untuk bargaining kepada pemerintah dalam rangka meninkatkan anggaran. Dan
cara untuk mendapatkan itu salah satunya dengan menciptakan drama chaos antara
rakyat dengan rakyat, rakyat dengsn legislatif atau rakyat dengan eksekutif.



Jika demikian, bagaiman cara mengembalikan
persatuan Indonesia?



Satu-satunya
cara melalui pendidikan. Pendidikan yang harus dihadirkan kembali yang hari
ini tidak ada
  adalah pendidikan Meta Sains.
Pendidikan Meta Sains itu mengajarkan siapapun, dalam umur bearapapun, dalam
sekolah apapun, baik formal, informal maupun non formal,
  untuk mengetahui sebenarnya posisi kita dan
kewajiban kita itu apa? Nah, kitakan tidak diajarkan itu. 



Miasalnya begini, Anak-anak
ketika masuk SMP dia tidak tahu bahwa dia Warga Negara Indonesia (WNI), dia cuma
tahu bahwa dia berbahasa Indonesia, tapi akhir-akhir ini juga bahasa Indonesia sudah
mulai “ditendang” oleh datangnya arus-arus sekolah-sekolah internasional
sehingga identitas bahasa Indonesipun mulaia terkikis. 



Nah, mata kuliah atau
mata pelajaran keindonesiaan itu sebenarnya yang harus kita sampaikan kembali
dengan cara Meta Sains yang luas, sehingga ketika terjadi disharmonisasi atau
ketika terjadi ketidak-mampuan pemerintah menyampaikan dan menyelesaikan
janjinya, maka kritik yang akan disampaikan itu jauh lebih pancasilais dan
lebih bermakna dari pada sekedar membuat keributan. 



Hal itu juga akan dipahami oleh
polisi jika polisi-polisi itu mendapatkan mata kuliah keindonesiaan yang Meta Sains.
Sepanjang itu tidak ada, maka akhirnya mereka merasa bahwa Indonesia itu
versiku, bukan indonesia versi kita bersama, pancasila versiku bukan pancasila
versi kita bersama, padahal seluruh diktum kita di dalam berbangsa dan
bernegara itu mestinya bersatu, berdaulat, adil dan makmur. 



Bersatu itu
asumsinya berarti menanggalkan seluruh identitas personal untuk mencari
kesamaan partikel-partikel persamaan sehingga bisa berdaulat untuk mencapai
kemakmuran. Sepanjang itu tidak ada, maka orang kemudia merasa bahwa merekalah
yang paling benar. Tapi kalo mata kuliah keindonesiaan dan kurikulum
keindonesiaan muncul, sebagai sesama orang indonesia kita bisa menemukan
kesamaan-kesamaan yang bisa dijadikan platform bersama dan itu satu-satunya
adalah mata kuliah Meta Sains.

***

* Penulis adalah Redaktur Pelaksana di Tabloid Suara Umat




Berikut video lengkap hasil wawancara MUKI Channel dengan Yudhie Haryono, Ph.D.:



About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content