15 Oktober 2024
Konsultan
Pendidikan Sururi Aziz saat memaparkan materinya dalam Acara
Fokus Diskusi Kelompok (FDK) yang mengusung tema “Pendidikan Sebagai Penjara
Dalam Membangun Warga Negara Unggul’ di Apartemen
Sultan, Jakarta. (Foto: Gabriel Hartanto)  

Penulis: Mihardo Saputro

JAKARTA, suaraumat.com – Acara
Fokus Diskusi Kelompok (FDK) yang mengusung tema “Pendidikan Sebagai ‘Penjara’ Dalam Membangun Warga Negara Unggul’ diwarnai dengan kritikan tentang kurikulum
2013 oleh Konsultan Pendidikan Sururi Aziz di Apartemen Sultan, Jakarta.

Menjadi
pemateri pertama, Sururi Aziz mengawali pembahasannya dengan memaparkan dasar hukum dari
kurikulum 2013.

“Berbicara
mengenai kurikulum, tentu kita memulai dari dasar hukumnya. Ketika
undang-undang Sisdiknas tahun 2003 disahkan, maka tahun 2004 munculah kurikulum
berbasis kompetensi. Dalam masa uji coba, yang naskahnya belum sampai
ditandatangani oleh Menteri Pendidikan Nasional Indonesia saat itu, Pak
Bambang Sudibyo, kemudian
ditetapkan dan diubah namanya menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,”
tuturnya.

Berdasarkan
dasar hukum pada Bab X tentang Kurikulum di Undang-Undang Sisdiknas Pasal 36
ayat 2 yang berbunyi: kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan
potensi daerah dan peserta didik, oleh karena itu tahun 2006 kurikulum yang
ditetapkan dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang diharapkan kurikulum
itu memiliki ciri khas masing-masing.

“Jika
kita melihat dasar hukum di atas, seharusnya setiap  daerah bisa memunculkan ciri khasnya
masing-masing. Namun faktanya, yang berbeda hanya covernya saja,” tambah Sururi.

Kemudian
dilakukanlah evaluasi-evaluasi sehingga lahirlah kurikulum 2013 yang ditetapkan
oleh Pak Menteri
Mohammad Nuh.

“Ketika
itu, delapan bulan menjelang akhir masa jabatan beliau, kurikulum tahun 2013 baru
diuji coba dan belum ada satu semester, mungkin karena Pak Menteri ingin
meninggalkan jejak baik, beliau membuat surat edaran bahwa kurikulum 2013 wajib
bagi seluruh sekolah memberlakukannya, padahal kurikulum 2013 baru diuji coba
di hanya 5% jumlah sekolah di Indonesia, jadi itu belum ada hasil evaluasinya,”
jelas Sururi.

Kemudian
kementrian pendidikan membentuk tim evaluasi kurikulum, evaluasi ini terkait
dengan muatan kurikulum dan implementasinya. Terkait dengan muatan kurikulum,
karena di Undang-Undang Sisdiknas itu ada turunannya, saat itu yang ada adalah
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
yang belakangan hari, tahun 2015 diubah menjadi PP No.13 tentang Standar Nasional
Pendidikan.


“Di
dalam Standar Nasional Pendidikan itulah terdapat struktur dan muatan kurikulum
yang intinya ada empat hal; standar kompetensi kelulusan, standar isi,
standar  proses dan juga standar evaluasi.
Ini kami lihat secara keseluruhan dan ternyata, jika melihat amanah Undang-Undang
Sisdiknasnya, yang menginginkan diversifikasi, pada faktanya adalah kurikulum
itu berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, tidak ada ruang untuk
diversifikasi, semuanya sama,” lanjut Sururi.


Masih
menurut Sururi, terkait dengan standar kompetensi kelulusan, baik SD, SMP, SMA,
SMK itu SKLnya sama, kenapa? karena SKLnya diambil dari standar isi dan apa
yang sudah dipelajari, itulah yang kemudian dijadikan SKL, padahal kita tahu
bahwa Indonesia adalah negara yang beragam dan sangat kaya.

“Indonesia
adalah negara maritim, namun tidak ada ciri khas kurikulum kemaritiman di situ.
Indonesia adalah negara agraris, tetapi kalo dibuka lagi dalam standar isinya,
yang membicarakan secara detail tentang agraris, walaupun ada tapi sedikit. Jadi
kita lihat, dari semua mata pelajaran itu tidak memunculkan diversifikasi yang
dilihat dari kondisi ke Indonesiaan, termasuk kondisi sosial masyarakat
Indonesia yang memiliki beragam budaya,” kata Sururi.

Memang
di dalam kurikulum 2013 sempat dibuat kriteria, seperti kategori A, yaitu  kurikulum nasional, kemudian kelompok B yang
kurikulumnya boleh diberi muatan kedaerahan, contohnya pendidikan jasmanai
(Olah Raga), kemudian seni budaya dan prakarya, tapi prakteknya buku-buku
panduannya tetap sama, sehingga tidak memunculkan budaya dari masing-masing
daerah.

“Jadi
kalo kita bicara mengenai diversifikasi, sampai sekarangpun itu belum muncul,“
tandas Sururi.

Trakhir,
evaluasi kurikulum 2013 di tahun 2017. Walaupun itu sudah diperbaiki, tapi perbaikan-perbaikan
ini lebih kepada ‘tambal sulam’.

“Ketika
tahun 2013 tidak ada materi pembelajaran informatika, maka pada tahun 2017
dimasukan materi informatika tersebut, kemudian Pendidikan Penguatan Karakter
(PPK) juga masuk, jadi ini yang saya maksud dengan tambal sulam”, jelas Sururi
lagi.

Terakhir, Sururi menekankan bahwa evaluasi kurikulum harus selalu dilakukan dan
diperbaiki.

“Setiap
pelajaran harusnya adalah pendidikan karakter, oleh karena itu setiap kali
pelatihan maka yang dimunculkan adalah 
bagaimana agar  setiap pelajaran,
muatan karakternya dikeluarkan, jangan hanya sekedar pengetahuan saja. Oleh karena
itu, bagian birokrasinya juga harus diberi wawasan supaya tidak terjadi salah
paham manakala ada sekolah yang tampilan kurikulumnya berbeda. Jangan juga
dicap sebagai sekolah yang tidak nasionalis, padahal disana mengajarkan tentang
kebangsaan dan  lain sebagainya,” pungkas
Sururi di akhir pembahasannya.

***


Saksikan video lengkap pemaparan Sururi Aziz tentang kurikulum 2013 di sini:


About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content