Tantangan Digitalisasi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Menuju New Society 5.0. (Kolase Foto: Suaraumat.com/Kun) |
LABUAN BAJO, SUARAUMAT.com – Sidang Pleno Aliansi Program Studi Manajemen dan Bisnis (APSMBI) I Tahun 2022 berlangsung di Jayakarta Hotel Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) Selasa (15/3 hingga Rabu 16/3).
APSMBI merupakan organisasi yang menaungi seluruh Program Studi Manajemen dan Bisnis pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di seluruh wilayah Indonesia.
Kepala Desa (Kades) Detusoko Barat, Ende Flores, NTT, Ferdinandus Watu, S.Fil., didapuk menjadi salah satu narasumber dalam Seminar Nasional Akuntansi dan Manajemen Ekonomi (SAME 4).
Acara ini diselenggarakan oleh Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Program Studi (Prodi) Manajemen, Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB).
Menukil postingan akun sosial media Kades Nando yang menyuarakan wisata premium ala kampung di Kota Premiun Labuan Bajo dalam Seminar Nasional SAME 4.
Nando mengatakan, wisata premium ala kampung adalah sebuah konsep wisata yang menonjolkan originalitas, lokalitas, keaslian dan keunikan sesuai dengan citarasa Flores, yang berbasis pada ‘living like a locals’, Be a Floreness /hidup seperti orang lokal dan menjadi seperti kebiasaan kita orang Flores itulah yang dinamakan premium.
Kades Detusoko Barat, Ende Flores, Nando Watu. (Foto: Dok.Undana) |
“Premium itu harus mampu membawa pemahaman, pertukaran pengalaman, edukasi pada nilai-nilai kearifan lokal serta serentak menggerakan bersama untuk menjaga alam, melestarikan budaya dan mendukung orang-orang lokal,” kata Nando.
Lebih jauh ia menjelaskan, biasanya makin ke kampung, makin asli, makin primitif/makin original narasinya makin kuat.
“Semakin memiliki keasliannya maka makin banyak yang cari dan itu tentu akan menjadi lebih mahal,” ujar Nando Watu.
Ia mengungkapkan, originalitas atau keaslian ini hanya ada di kampung-kampung dan tentunya di desa. Jiwa wisata premiun adalah pengalaman. Karena itu bicara wisata premium tanpa melibatkan konsep tentang pengalaman di desa wisata, dengan aneka nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal yang ada, itu ibarat bangun wisata namun tidak ada jiwanya (roh).
Digitalisasi dan pariwisata sebuah sinergitas
Kegiatan yang dilaksanakan dengan tema Tantangan Digitalisasi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Menuju New Society 5.0 tersebut menghadirkan Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional, Prof. Dr. Ir. Marsudi Wahyu Kisworo sebagai pembicara utama.
Ketua Panitia, Ronald P. C. Fanggidae, SE., MM menyatakan latar belakang pemilihan tema tersebut berangkat dari suatu pemikiran bahwa semakin pesatnya pertumbuhan pariwisata di Indonesia dan teknologi di abad-21 akan turut melahirkan perubahan ataupun pembaharuan di berbagai bidang kehidupan, tidak terkecuali bidang ekonomi.
Oleh karena itu, seminar tersebut untuk mempersiapkan digitalisasi dalam pariwisata dan ekonomi kreatif menuju New Society 5.0.
“Kegiatan ini memanggil kita semua untuk bersama-sama mengkaji berbagai manfaat pariwisata yang memiliki kontribusi yang begitu besar dalam perekonomian Indonesia selama ini, yang telah tumbuh dan tampaknya sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat,” ujarnya.
Ketua APBSMI, Dr. Ulil, Hartono, S.E., M.Si., mengungkapkan sebelumnya sidang tersebut telah dilakukan pra pleno atas sidang tersebut. Para pleno 1, 2 dan 3 hanya untuk Prodi S-1 manajemen standar.
“Sehingga ketika dalam proses akreditasi, jika terdapat pertanyaan, apakah kurikulum kita berbasis standar asosiasi, maka kegiatan ini akan menjawab pertanyaan tersebut,” ujarnya.
Ia menyatakan kehadiran peserta pada kegiatan tersebut sebut tidak kurang dari 170-an orang. Menurutnya, hal tersebut menjadi manfaat terbesar bagi Otoritas Pariwisata Labuan Bajo. Untuk itu, ia mengajak semua peserta agar mempromosikan wisata Labuan Bajo, NTT.
“Jangan hanya Menteri Pariwisata, Sandiaga Uno yang mempromosikan pariwisata, tetapi kita pun punya kontribusi untuk mempromosikan wisata di Indonesia. Semoga acara ini bermanfaat hingga akhir acara,” bebernya.
Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai Barat, Fransiskus Sale Sodo menyambut baik kegiatan yang dilaksanakan Prodi Manajemen FEB Undana tersebut.
Sementara Rektor Undana, Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc., ketika membuka kegiatan itu menyampaikan apresiasi atas tema yang diangkat dalam kegiatan tersebut.
Ia menyatakan, Pemprov NTT sebelumnya telah menetapkan pariwisata sebagai prime mover (penggerak utama) pembangunan ekonomi di NTT, karena sumber daya lokal yang dimiliki, baik wisata alam, budaya, bahari dan lainnya yang luar biasa.
Rektor mengungkapkan, di tengah stigma NTT sebagai provinsi miskin dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang berada di bawah adalah tantangan bagaimana agar keluar dari stigma tersebut.
Karena itu, ia menambahkan pariwisata menjadi lokomotif utama untuk membebaskan masyarakat NTT dari keterpurukan ekonomi maupun SDM.
Digitalisasi, jelas Rektor Undana menjadi penting di era revolusi industry 4.0., sebab di satu sisi membawa kemudahan bagi dukungan wisata, namun pada sisi yang lain menurunkan tenaga kerja.
“Dulu banyak agent travel, sekarang dengan menekan aplikasi saja, sudah bisa pesan tiket saat itu juga,” ujarnya.
Berkaca pada Negara Jepang, Rektor menegaskan populasi tinggi yang didominasi orang tua, Jepang kemudian mengembangkan industri yang bisa mendukung kehidupan yang lebih sejahtera dan nyaman.
Namun, hal tersebut berbeda dengan Indonesia. Dengan bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia muda jauh lebih tinggi dari Indonesia.
Jepang dengan aging population ingin kembangkan industri yang bisa mendukung kehidupan lebih sejahtera lebih nyaman bagi masyarakat yang didominasi orang tua. Makanya kembangkan konsep society 4.0.
Kita justru terbalik bonus demografi. Jumlah penduduk usia muda jauh lebih tinggi 60 persen sampai 245, peran digitalisasi jangan sampai menyebabkan banyak orang kehilangan lapangan kerja.
“Pembangunan apa saja harus dimulai dari manusia, pariwisata dalam segala kemajuan harus berpihak pada masyarakat lokal. Apa gunanya kemajuannya apabila masyarakat jadi penonton. Kalau masyarakat jadi penonton, berapa banyak rupiah dipegang masyarakat lokal kita?” tandasnya.
Rektor juga mengajak pemerintah dan para akademisi untuk memikirkan konsep digital seperti apa yang harus diintrodusir kepada masyarakat lokal untuk bersaing dengan para pebisnis di tengah kompetisi dunia digital dalam bidang pariwisata.
(Red/kn)