Dr. Richard Davidson, Brain at Work (Source : Center for Investigating healthy minds Youtube channel) |
Oleh: Karolina Siwi
SUARAUMAT.com – Bandara di hari itu tidak telalu ramai, kondisinya lengang, hanya sedikit orang yang antri untuk check in. Di luar langit mendung. Saya menoleh pada seseorang di sebelah saya. Sebentar lagi kami akan berpisah. Hari itu saya mengantar Dr. Richard Davidson ke bandara yang akan kembali ke Madison, Amerika Serikat.
“So, when will be the deadline?” tanyanya.
“July,” saya menjawab singkat.
“No. It’s too long. We need it soon. How about February?” kata Richie lagi. Wajahnya yang ramah itu dihiasi senyuman.
“Alright, February,” jawab saya, dengan senang. Saya merasa bersemangat. We will meet again, soon.
Dan, sesaat setelah saling mengucapkan kata-kata perpisahan, saya terbangun. Rupanya saya bermimpi!
Bermimpi sebuah permulaan
Bukan kebiasaan saya untuk mencoba menerjemahkan atau mencari-cari arti mimpi. Bagi saya mimpi hanyalah bunga tidur, aktivitas pikiran yang masih terus bergerak di saat kita terlelap. Dan kebanyakan saya melupakan mimpi begitu terbangun. Tetapi mimpi kali ini begitu berkesan.
Pasalnya si ‘tokoh’ di dalam mimpi saya itu, adalah Dr. Richard Davidson, seorang neuroscientist, profesor, psikolog dan psikiatry dari Universitas Wisconsin, Madison. Pendiri dan Direktur Center for Investigating Healthy Minds, Madison.
Tak ayal lagi, saya bertanya-tanya, bagaimana saya bisa tiba-tiba bermimpi tentang beliau, padahal sebelumnya saya tidak membaca, melihat, atau mendengar sesuatu yang berkaitan dengan beliau dalam waktu dekat ini.
Tentu saja saya pernah mendengar tentang Richard Davidson. Itu terjadi sekitar satu setengah tahun lalu. Ia melakukan riset dengan mendatangkan bhiksu dari Nepal dan Tibet, yang merupakan meditator expert.
Mereka sudah praktik meditasi puluhan ribu jam sepanjang hidupnya. Salah satunya adalah Yongey Mingyur Rinpoche.
Doktor Davidson mendatangkan para meditator kelas berat itu ke laboratoriumnya di Madison. Di sana, ia meneliti gelombang otak para meditator melalui fMRI.
September 2002, Mingyur Rinpoche tiba di Madison untuk pertama kalinya. Di lab, beliau diberi instruksi untuk melakukan meditasi welas asih, sementara ratusan kabel dipasang di kepalanya.
Saat sedang bermeditasi itulah, para ilmuwan melihat suatu lonjakan gelombang yang tidak biasa. Awalnya mereka mengira itu disebabkan karena Mingyur Rinpoche melakukan gerakan. Namun ternyata tidak.
Para ilmuwan itu mendeteksi gelombang gamma (salah satu gelombang otak yang paling tinggi frekuensinya, berkisar antara 25 – 140 Hz); yang sangat banyak pada para praktisi meditasi.
Ahli Meditasi Yongey Mingyur Rinpoche dilengkapi dengan 256 kabel tipis untuk mengukur gelombang otaknya saat dia bermeditasi. (Foto: Brian Ulrich) |
Workshop meditasi
Kebanyakan orang yang dites melalui scanner fMRI merasa kesal dan tidak sabar. Berbeda dengan meditator yang dites di lab Dr. Richie Davidson. Seperti Mingyur Rinpoche, ia memiliki kesabaran yang tak berbatas dan kebaikan luar biasa.
Juni 2016, diadakan workshop dengan judul Meditation and The Science of Human Flourishing di Stanford, California.
Acara ini diselenggarakan oleh Ccenter, The Center For Compassion And Altruism Research And Education.
Pembicaranya adalah Yongey Mingyur Rinpoche, Richard Davidson dan James Doty, pendiri dan direktur Ccenter. Saya baru melihat rekamannya dua tahun kemudian, pada Juni 2018.
Workshop ini membahas tentang pertanyaan mengenai, dapatkah kita meningkatkan kesejahteraan (mental, spiritual) dengan cara berlatih dan praktik meditasi?
Baca juga: Artikel Bahasa Inggris How Meditation Changes Your Brain and Your Life
Mingyur Rinpoche dan Richie Davidson berbagi tentang meditasi dalam perspektif masing-masing, dari sudut pandang spiritual (tradisi Buddhis Tibetan) dan science.
Dalam workshop tersebut Richie menyebut soal neuroplasticity dan epigenetic. Juga tentang risetnya terhadap otak para praktisi meditasi dibandingkan dengan kelompok orang yang tidak meditasi.
Dari kelompok meditator dan non meditator terdapat perbedaan yang signifikan. Di dalam sinyal yang ditangkap dari otak praktisi meditasi, lonjakan amygdala (hormon kemarahan dan ketakutan), akan lebih cepat turun dibandingkan yang tidak meditasi. Apa artinya? Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak menyenangkan, kemarahan pada praktisi meditasi akan lebih cepat reda, daripada non meditator.
Praktisi meditasi disebutkan sebagai quick recovery, mereka lebih cepat pulih dari hal-hal seperti trauma, kesedihan, atau emosi-emosi negatif lainnya. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa praktisi meditasi (long term meditator) memiliki kedamaian, ketenangan, lebih bahagia, dan memiliki sifat yang welas asih.
Mulai mengenal MBSR
Satu setengah tahun yang lalu, saya tidak mengerti sama sekali apa yang dikatakan Richie. Termasuk ketika ia menyebutkan soal MBSR (Mindfulness Based Stress Reduction). Tapi saya tetap melihat rekaman video yang dibagi menjadi empat bagian itu sampai selesai.
Dari situlah saya mengetahui tentang neuroscientist tersebut dengan penelitiannya. Hingga tiba-tiba mimpi itu muncul.
Rupanya setelah sekian lama tersimpan di alam bawah sadar, nyaris dilupakan, ia muncul secara acak, bahkan tanpa ada pemicunya terlebih dahulu.
Setelah tertawa geli karena mimpi yang keren dan nyaris seperti film science fiction itu, saya tak memikirkannya lagi.
Beberapa hari kemudian, saya bertemu dengan Shifu Guo Jun, seorang master Zen dari tradisi Dharma Drum Mountain, yang tinggal di Singapura.
Beliau sedang membimbing retret di Mega Mendung, Bogor. Sejak tahun 2016, saya sudah beberapa kali bertemu, namun baru kali ini saya dapat berbincang dengan beliau.
Di tengah suasana yang santai, Shifu akhirnya mengetahui kalau saya sudah beberapa kali berniat ikut retret beliau tapi belum juga terlaksana.
Ketika beliau mengetahui kalau saya mengajar piano, Shifu nampak antusias. Beliau mengatakan, saya bisa mengajarkan mindfulness lewat musik.