Bendera Amerika Serikat (kiri) dan Bendera Tiongkok. (Kolase Foto: Suaraumat.com/Kun) |
——————-
Oleh: Purnawan EA
SUARAUMAT.com – Berkaca pada perang dagang antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok (Republik Rakyat China), kita jadi makin tahu apa sebenarnya dibalik semua tindakan Amerika membantu negara berkembang.
Ketika harus menghadapi Tiongkok, Amerika jadi ketahuan belangnya, yakni bahwa semua slogan kemanusiaan, slogan hak asasi manusia dan slogan demokrasi hanyalah kendaraan untuk menguasai kekayaan alam negara miskin.
Lebih parah lagi, yang menguasai bukan rakyat Amerika tetapi para pengusaha raksasa Amerika! Rakyat Amerika, justru dikorbankan melalui generasi muda yang jadi tentara, untuk gugur di negara lain. Amerika tidak pernah perang di negaranya sendiri, karena Amerika berperang untuk menjaga keamanan perdagangan para pengusaha kelas kakap.
Ketika Iran & Irak mulai menguasai perdagangan minyak, maka langsung kedua negara itu dibuat guncang dan dilakukan embargo segala macam untuk melemahkan kedua negara itu.
Embargo segera melumatkan kekuatan dagang minyak kedua negara itu sehingga petrodolar tetap aman. Akhirnya Irak digiling dengan menggunakan mesin isu bahwa Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal yang ternyata diduga kuat itu tidak benar.
Bahwa Irak membiayai Al Qaeda yang menghancurkan gedung WTC, 9 September 2001 yang ternyata juga diduga kuat tidak benar.
Semua cuma alasan untuk mengganti rezim Saddam Hussein yang terlalu nasionalis. Ketika Irak diserang dan dikalahkan secara militer serta Saddam Hussien digantung segera semua perusahaan raksasa bagi-bagi kue Irak.
Setelah Irak ambruk, Libya dapat giliran, Khadafi dibunuh, maka kue Libya bisa dibagi-bagi, lagi-lagi bukan untuk rakyat Amerika tetapi untuk pengusaha-pengusaha raksasa yang mantelnya seolah-olah selalu memberi bantuan kesana kemari.
Amerika selalu ingin jadi polisi dunia bukan karena mau membuat dunia sejahtera tetapi untuk menjaga keamanan industrialisasi raksasa mereka. Sekali lagi bukan untuk rakyat Amerika! Apalagi untuk dunia!
Ketika Mesir bisa menata diri setelah diguncang oleh Mohammed Morsi, maka kelanjutannya mengarah ke Suriah yang lebih dekat dengan Irak sementara Turki, melalui Erdogan dijadikan basis. Al Qaeda turun panggung dan ISIS naik panggung menjadi lakon utama.
Siapa pun yang mengancam kedaulatan perdagangan dan industri Amerika akan diobok-obok dan dihancurkan.
Ketika Tiongkok mulai tidak terbendung, Amerika bingung. Pemerintah Tiongkok mengawasi ketat keamanan negara, teknik obok-obok jadi mandul.
Lima puluh (50) orang kumpul dengan tujuan tidak jelas pasti akan berurusan dengan aparat keamanan. Di Tiongkok tidak akan mungkin bisa dilakukan demo berjilid-jilid seperti di Indonesia.
Karena tidak mampu ngobok-obok, maka kali ini Amerika terpaksa buka topengnya sendiri melalui perang dagang secara frontal. Begitu nista cara perangnya sampai anak perempuan Boss Huawei perlu ditangkap, nangkapnya di Kanada lagi! Amerika kehabisan isu untuk menekan Tiongkok.
Kenapa harus begitu?
Semua isu tentang demokrasi, tentang hak asasi manusia, tentang senjata pemusnah tidak mempan digunakan untuk Tiongkok, karena Tiongkok tidak pernah peduli dengan isu yang dirancang Amerika dan konco-konconya.
Hidup bernegara di Tiongkok sudah melalui peluh dan darah berabad-abad, sementara Amerika sejatinya baru belajar bernegara 250 tahun belakangan ini.
Demokrasi yang dijadikan dewa oleh Amerika Serikat segera dikepret oleh Tiongkok dengan memberikan jabatan untuk presidennya tanpa batas waktu. Caramu caramu, caraku caraku! Tampaknya teknik mengobok-obok negara lain ini ikut tergilas oleh revolusi industri tahap 4.
Obok-obok paling berhasil adalah tahun 1965 ketika Presiden Soekarno dikudeta oleh rezim Orde Baru. Apa alat untuk mengobok-obok negara miskin?
Teror dan pembunuhan maasal! Di Indonesia pada tahun 1965 melalui pembunuhan jutaan simpatisan dan yang dituduh PKI. Di Irak, Libya, ISIS semua pakai alat pembunuhan massal oleh bonekanya di negara mereka sendiri.
Setelah berkuasa maka perusahaan raksasa Amerika segera bagi-bagi jatah: Emas di Papua, Gas Alam di Aceh, Minyak di Riau (Baca ulah Berkley Mafia).
Hanya dengan mendorong pembunuhan besar-besaran untuk menteror rakyat, bisa tumbuh rezim yang kuat, yang mampu berpuluh tahun menjaga keamanan bisnis orang kaya Amerika.
Di Irak mereka membunuh jutaan “pendukung Saddam Hussein”, di Libya sami mawon dan di Suriah juga setali tiga uang! Pembunuhan massal merupakan teror untuk rakyat miskin, apalagi yang sudah “dilaparkan” melalui macam-macam embargo.
Itulah Amerika dengan wajah aslinya. Semua orang di Indonesia tahu, siapa yang dibunuh secara massal pada era awal Orde Baru, karena banyak yang dibunuh, ditahan dan dipenjara tanpa pengadilan adalah tetangga mereka sendiri yang kebetulan kecipratan lambang PKI.
Tanpa dosa, memberi label saja, mereka dibunuh. Ketika korban habis, teror terus dijalankan pada keturunannya! Siapa pun yang punya hubungan darah dengan orang yang sudah dicap PKI dijadikan korban teror untuk membangun rasa takut dan contoh soal bagi orang lain.
Bagi orang-orang warisan rezim Orde Baru, rasa takut adalah alat untuk menundukkan orang lain dan dulu bisa digunakan untuk menguasai Negara. Sekarang tidak efektif lagi, karena sekarang sudah ada media sosial alias medsos. (*)
Editor: Kun