Jasa penukaran uang di pinggir jalan jelang Lebaran 2022 sepi. /Foto:Suaraumat.com/Mihardo Saputro |
SUARAUMAT.com – Transaksi tukar menukar uang baru yang marak jelang Lebaran mengalami sepi peminat dari tahun ke tahun.
Masyarakat lebih memilih langsung menukarkan uang ke bank atau penukaran resmi daripada membayar sejumlah uang untuk menukarkan uang buat bagi-bagi saat Lebaran.
“Sekarang yang menukar uang semakin sepi. Jika dulu sangat ramai di pertengahan Ramadan, sekarang mengalami penurun dari tahun ke tahun,” ujar Parto, 45 Tahun, Warga Cikarang yang menjajakan pecahan uang baru untuk dibeli oleh para buruh kawasan industri tersebut.
Jika dulu, masyarakat malas antre di bank sekarang justru memilih antre di bank untuk menukar uang secara resmi dan tidak ada unsur riba akibat adanya tambahan biaya penukaran jika dilakukan di jalanan.
Baca juga: Jadi syarat mudik lebaran 2022, permintaan Vaksin Booster melonjak
Biasanya, penjaja uang baru, mendapatkan 10 persen dari nilai uang yang ditukar, misalnya 1 juta maka penjaja pecahan uang baru mendapatkan 100.000.
Parto menjelaskan bahwa dia sudah lama menjalankan jasa ini setiap tahun. Transaksi tukar uang baru ini biasanya pada H-14 jelang Lebaran sudah banyak yang menukarkan uang untuk hari raya. “Kalau mendekati Lebaran bisa lima sampai tujuh orang yang menukar,” tuturnya.
Secara terpisah, Adi Supriadi MM atau akrab disapa Coach Addie, Seorang Da’i Motivator dan Akademisi Ekonomi Syariah STEBI Global Mulia Cikarang mengatakan bahwa kondisi menurunnya minat masyarakat membeli uang pecahan baru di penjual yang ada di jalanan adalah kabar gembira. Sebabnya itu pertanda tingkat kesadaran masyarakat Islam tentang haramnya RIBA meningkat dari tahun ke tahun.
Adi Supriadi. /Dok. Pribadi |
“Banyak ulama yang mengharamkan praktik tukar-menukar uang rupiah karena terdapat riba di dalamnya,” ujar Adi Supriadi dalam keterangan tertulis yang diterima Suaraumat.com.
Pria kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat yang berdomisili di Kota Bandung ini menjelaskan bahwa dalam fikih muamalah, ada enam barang ribawi yang terisi dalam sebuah hadis:
“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan gandum, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai” (HR. Muslim 4147).
Dari hadis tersebut, klasifikasi barang ribawi menjadi dua bagian. Pertama, naqd yaitu emas dan perak. Kedua, math’umat (makanan) yaitu gandum syair, gandum bur, kurma, dan garam.
Di dalam jual beli barang ribawi, jika mengurus persyaratan: [1] sama takaran / timbangannya, [2] tunai. Apabila emas 1 gram ditukar dengan emas 1,5 gram, maka di situ terjadi riba fadli ( fadli: lebih). Apabila pembayaran tidak dilakukan tunai, maka terjadi riba nasiah.
Baca juga: Kisah pilu Rumah Tangga cucu Presiden Soeharto
“Jika kita menganggap bahwa uang rupiah sama dengan emas dan perak, dengan begitu disamakan dengan rumpun naqd, maka praktik tukar uang menjelang lebaran dengan membayar lebih jelas riba dan hukumnya haram,” tegasnya.
Pendapat ini didasarkan bahwa ‘illat dalam naqd ialah muthlaquts tsamaniyah (mutlak harga). Emas dan perak merupakan dua benda yang dijadikan harga pada waktu itu. Nilai uang berasal dari nilai nominalnya (10 ribu misalnya), bukan dari nilai intrinsik (kertasnya atau logamnya).
Apa pun yang dijadikan harga, maka ia mengandung riba. Oleh sebab itu, uang kertas pada masa kini yang memiliki fungsi yang sama juga dikenai hukum yang sama. Yakni termasuk barang ribawi dan wajib dizakati. (Fiqh al-Mu’amalat, III, 479).
Editor: Kun