SUARAUMAT.com – Saya terpaksa memberanikan diri menulis mengenai hal ini, hal yang sudah lama berkecamuk dalam hati saya sebagai orang non-Islam di Indonesia. Tapi saya rasa sekarang adalah waktunya kita buka mata dan berkata apa adanya.
Kejadian di Mareje, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NRB) adalah sebuah rekayasa yang sudah direncanakan oleh kaum radikalis. Terbukti dari berbagai kronologi yang tersebar sebagai pelaporan dari aparat kepada atasannya, terbukti dari ‘causa’ awal yang sewajarnya tidak akan menimbulkan gesekan apa pun.
Hal seperti ini akan bertambah banyak dan keras, karena Kepolisian sebagai Tangan Kanan Pemerintah dalam masalah ini tidak menindaklanjuti setiap kasus yang terjadi dengan tegas, tidak Tegak Lurus Mengawal Konstitusi.
Mari kita bicara kesetaraan, dalam berperilaku dan bertindak. Jangan ada lagi hambatan penindakan hanya karena takut disebut ‘Islamophobia’, karena yang terjadi di Indonesia bukanlah akibat dari ‘Islamophobia’, tapi karena ‘Islamdominatori’.
Keras…? Itulah yang sebenarnya. Mari kita buktikan secara lugas.
Ketika terjadi bom bunuh diri, pelaku menyatakan dirinya sebagai orang Islam, menjalankan jihad yang salah menginterpretasikan, untuk membunuh sesama manusia, bahkan sesama orang Islam. Lalu diambil langkah mengantisipasi dan menindaklanjuti agar hal tersebut tidak berulang. Apakah itu Islamophobia…? Bukan…! Itu kewajaran, bukan phobia.
Ketika sebuah organisasi mengumpulkan banyak anggota, menggunakan peci putih dan baju gamis, berteriak ‘Allahu Akbar’ sambil melakukan penyerangan, pemukulan, pembakaran, perusakan, bahkan pembunuhan, tanpa ada tindakan terhadap mereka, tentu saja mereka merasa ‘kebal hukum’, dan semuanya berulang dan berulang lagi. Kemudian mereka dihindari dan ditakuti, apakah itu Islamophobia…? Bukan…! Itu kewajaran, bukan phobia.
Ketika ustaz-ustaz (bukan ustadz, KBBI) memberikan ‘ceramah’ yang sebenarnya isinya hanya ‘provokasi kebencian’, kemudian umat (bukan ummat, KBBI) yang mendengarkan belajar bagaimana membenci sesamanya, membenci yang berbeda aliran Islam-nya, membenci pemerintah, hingga beberapa kali mencoba melakukan kerusuhan bertujuan kudeta. Ketakutan akan terjadinya perang saudara, kerusuhan, kekacauan, dan sejenisnya, apakah itu Islamophobia…? Bukan…! Itu kewajaran, bukan phobia.
Ketakutan yang wajar itu yang digaungkan sebagai ‘Islamophobia’, agar terkesan sebenarnya hal-hal tersebut tidak berbahaya, tidak merusak, dan lain-lain. Mendidih rasanya darah ini melihat kesewenang-wenangan di berbagai hal di Indonesia yang mengatasnamakan Islam dan bila dilarang langsung diserang dengan ‘Islamophobia’. Mulai dari hal kecil hingga hal yang esensial.
Pernah seorang teman mengatakan pada saya, “Itu bendera tauhid, bukan teroris, bukan berarti ISIS…”, saya jawab lurus, “Kamu pikir saya idiot…?”
Di saat lain seorang teman seangkatan di SMA yang saya ketahui pasti sebagai pendukung khilafah, berusaha maju menjadi Ketua Ikatan Alumni, saya tolak dan mendukung yang lain.
Lalu teman-teman lain menyebut saya “pengkhianat angkatan…”, saya jawab “biarlah saya menjadi pengkhianat angkatan, asal jangan jadi Pengkhianat Konstitusi…”. Berjumpa dengan orang ketika membawa anjing saya jalan pagi, berpapasan dengan ibu berkerudung yang langsung bicara, “Jangan dekat-dekat Pak, najis…”, saya jawab, silakan Ibu menjauh, ini area umum, wilayah NKRI…”, di Mekkah saja anjing bebas berkeliaran.
Itu semua hal kecil yang terjadi dalam keseharian.
Hal besar adalah ketika berbicara kebebasan beragama, ketika bicara pelarangan beragama dan beribadah, ketika rumah ibadah umat lain dibakar sementara kaum radikalis beribadah di jalanan.
Hal besar adalah ketika musyawarah untuk mufakat berubah menjadi penekanan atas nama mayoritas untuk kemenangan mayoritas.
Sudah tidak mampu membedakan mana ranah agama (baca ranah privat), dan mana ranah konstitusi (baca ranah hukum), tidak mampu lagi melihat segala variabel dalam suatu masalah secara objektif berdasarkan norma umum, bukan norma agama, seharusnya berdasarkan Norma Pancasila.
Silakan beribadah, tapi jangan paksakan ibadahmu harus dihormati orang lain sementara orang lain tidak mendapatkan haknya. Silakan bergamis dan bercelana cingkrang, tapi patuhi peraturan berseragam “Yang Benar”.
Terkait peraturan berseragam, ada peraturan berseragam “Yang Salah”, SKB 3 Menteri terkait seragam sekolah, Salah Besar. SKB ini melanggar konstitusi ya Pak Nadiem, Pak Tito, dan Pak Yaqut. Harus dicabut, itu SKB Sesat, sama dengan SKB 2 Menteri No 9 dan 8 tahun 2006. Kenapa tidak dicabut…? Takut disebut Islamophobia…?
ISLAMOPHOBIA tidak ada di Indonesia, yang ada adalah ISLAMDOMINATORI.
Maaf, saya berkata jujur sesuai hati nurani saya; “Hentikan semua ketidaksetaraan dalam segala hal dengan mengedepankan alias menjual nama Islam”, kembali ke KONSTITUSI.
Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Pancasila, sesuai dengan rumusan yang tertuang pada Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, Bukan Piagam Jakarta.
Tangkap semua pengusung khilafah, menentang konstitusi. Tangkap semua pendukung Piagam Jakarta, menentang konstitusi. Hentikan pembedaan perlakuan berdasarkan agama, ‘mayoritas’ tidak sama dengan ‘berkuasa’, mayoritas adalah jumlah semata, tapi keputusan dan tindakan haruslah dilakukan sesuai dengan Kebenaran Objektif yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila, bukan agama.
Bagi saudara-saudaraku kaum radikalis penganut Islamdominatori, sadarlah, kalian hanya mempermalukan nama Islam, merusak ajaran Islam yang sebenarnya, dan lebih dari itu, kalian mempermalukan Allah yang kalian sembah.
Mari kembali ke Konstitusi, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan jalankanlah “Lakum Dinukum Waliyadin”, karena sejatinya “Habluminannas” adalah perintah-Nya, dan “Habluminallah” adalah hubungan pribadimu dengan Allah yang kamu sembah.
[rps/sintesanews]