Adi Supriadi. (Dok. Istimewa) |
SUARAUMAT.com –
Direktur Eksekutif Asosiasi Praktisi HR Indonesia (ASPHRI), Adi Supriadi menyatakan bahwa sebanyak apa pun investasi yang datang tetapi daya serap tenaga kerja yang rendah menandakan ada yang salah dalam program kerja Kementerian Tenaga Kerja. Karena logikanya baru akan masuk apabila tingginya investasi yang masuk ke Indonesia diiringi dengan daya serap tenaga kerja yang tinggi pula.Dalam konteks Ketenagakerjaan, seharusnya investasi mendorong keterserapan angkatan kerja, dan Indonesia semakin kaya akan tumbuhnya usaha baru milik lokal karena ada alih teknologi.
Kemudian adanya perusahaan-perusahaan asing di Indonesia sejatinya bisa meningkatkan kualitas SDM, bukan memperalat SDM Indonesia yang bisa dibayar murah, jika ini yang terjadi baru ekonomi tumbuh dan berkembang, kalau tidak maka Bangsa Indonesia akan tetap menjadi “budak” di Negeri Sendiri atau seperti ‘ayam’ yang mati di lumbung padi.
“Oleh karenanya, keinginan Kementerian Tenaga Kerja Indonesia yang mendorong investasi harus disertai kerja keras peningkatan kualitas SDM yang tepat guna, jadi pengusaha tidak disibukkan lagi dengan upaya memperbaiki kualitas sikap, mental dan budaya kerja tetapi fokus pada produktivitas,” ujar Adi Supriadi pada (11/05/2022), kemarin.
Praktisi dan Konsultan Human Capital ini menyampaikan hal tersebut melalui akun media sosialnya @coachaddie.official menanggapi pernyataan Menaker Ida Fauziyah di acara Pasker ID Goes to Campus dan Pengukuhan Kepengurusan Forum Komunikasi Perguruan Tinggi untuk Ketenagakerjaan (Forkomtinag) di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (25/3/2022) yang lalu.
Pria yang aktif memberikan bimbingan coaching calon tenaga kerja ini menjelaskan, salah satu bukti bahwa tenaga kerja Indonesia siap pakai siap guna adalah para praktisi HR tidak disibukkan dengan pelatihan-pelatihan dasar saat calon tenaga kerja masuk pertama kali ke perusahanan, tetapi sudah pada pelatihan-pelatihan tingkat lanjut.
Selain itu bukti lainnya yang membuat nilai tenaga kerja Indonesia tidak siap pakai dan siap guna adalah rasio test rekrutmen dan yang diterima sangat rendah, bahkan bisa jadi test rekrutmen dengan peserta 1000 orang yang diterima bekerja hanya 2 orang saja.
Pasalnya, baik lulusan perguruan tinggi dan SMK/SMA masih belum matang untuk dapat disebut bekerja, seharusnya kolaborasi Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa terjalin lebih intim, tidak berjalan sendiri-sendiri dengan program sendiri-sendiri.
“Tanya aja guru-guru SMK, mereka kebingungan menyalurkan lulusannya karena peran Kementerian Tenaga Kerja di sekolah memang kurang jika dapat dikatakan tidak ada, di sisi lain kurikulum pendidikan tidak sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Peran ini ada di Kementerian Tenaga Kerja yang seharusnya bisa ikut campur dalam penyusunan kurikulum pendidikan,” ucap Adi Supriadi menjelaskan.
Transformasi dan kolaborasi antara dua Kementerian yaitu Kementerian Tenaga Kerja dan Pendidikan harus intim, harus berdampak pada terciptanya lulusan sekolah yang menjadi tenaga kerja siap pakai siap guna.
Sehingga nanti dampaknya akan membuat tenaga kerja Indonesia dapat mengundang investor baru, karena informasi yang tersebar. Bukan hanya karena SDM yang bisa dibayar murah dan karena ‘baik hati’ yang dikenal selama ini.
Editor: Konradus Pfedhu