10 Oktober 2024

In Loving Memory Petrus Alkantara Lagho, Sebuah Refleksi Tentang Kesetiaan, Pribadi Pembaca dan Senang Bahagia Dalam Roh Jelang Akhir Hayat
Max BiaeDae (kiri) dan Bapak Fransiskus Wani (kanan) menghadiri In Loving Memory of Bapak Drs. Petrus Alkantara Lagho. [Foto: Suaraumat.com/Istimewa] 


Oleh: Max BiaeDae, 
Alumni STFK Ledalero II Penulis Buku Eksegese Orang Jalanan

—————

SUARAUMAT.com – Jumat 27 Mei 2022, pada 40 hari berpulangnya Bapak Petrus Alkantara Lagho, anak-anaknya meminta saya untuk menyampaikan satu dua kata hati dari keluarga. Permintaan itu tentu berhubungan dengan posisi saya sebagai “wife giver,” atau pihak pemberi istri, atau Om. 

Banyak kebaikan yang ditinggalkan beliau, tetapi saya ambil satu dua yang menonjol, sebagai kenangan dan juga sebagai refleksi bersama. 

1. Kesetiaan

Kesetiaan tertanam sejak keduanya menyatakan fiat kehidupan keluarga. Imelda Sena sendiri sebagai istri, dengan latar belakang sekolah perawat dan juga guru harus rela melepaskan profesi ini demi karier suami.

Yang paling membekas dalam ingatan saya, Almarhum Pak Piet adalah mantan camat Bajawa Ibu Kota Kabupaten Ngada. Pun dalam hidupnya telah menunjukkan kesetiaan sebagai suami. 

Hampir tidak kelihatan dalam hidupnya, mereka datang sendiri-sendiri dan berada di kampung. Mereka selalu bersama.

Kesetiaan tidak saja hangat ketika Pak Piet sebagai pejabat, tetapi kesetiaan itu tetap hangat tatkala menjalankan masa-masa pensiunnya sebagai petani dan hidup bersama di Nangadhero, Nagekeo, Flores Nusa Tenggara Timur (NTT) sampai akhir hayatnya.

2. Pribadi Pembaca

Sampai akhir hayatnya Pak Piet mendedikasikan dirinya dengan membaca. Menjelang meninggalnya pun Pak Piet masih membaca buku “Para Sahabat Mengenang Daniel Dhakidae: Cendikiawan Par excellence;” 

Selain bahwa buku tersebut ditulis mengenang ejanya, Dhakidae, sepupu istrinya, Imelda Sena, Pak Piet memiliki kebiasaan membaca buku-buku bermutu. 

Providentia Dei, bahwa mereka berdua meninggal pada tanggal yang sama, meski tahunnya berbeda di mana Dhakidae pergi setahun mendahului beliau.

Tentang membaca, kita bisa menyaksikan foto di salah satu media sosial yang menggambarkan bahwa beliau dengan sangat tekun membaca buku kenangan itu baik dalam keadaan sehat maupun dalam keadaan sakit. 

Membaca adalah kehidupannya. Kegemaran ini menggambarkan bahwa baginya membaca adalah cara yang paling tepat untuk menjadi bijaksana. 

Kegemaran ini menegaskan pepatah Latin bahwa “homo facit sapiens bis non sed saepe legent” manusia menjadi bijaksana bukan dalam satu dua kali membaca tetapi karena keseringan membaca. 

3. Bahagia dan Senang

Dua kata ini dilontarkannya menjelang saat-saat tak menyadarkan dirinya. Pertanyaan tentang keadaannya sakitnya dilontarkan oleh Asmin, putra bungsunya dan Angela putri sulungnya. 

 “Bapa rasa bagaimana?”

Meskipun ditanya pada kesempatan yang berbeda-berbeda, jawabannya tetap sama.

“senang dan bahagia.” 

Jawaban itu di luar dugaan karena dalam ukuran manusia sakit itu selalu menimbulkan penderitaan. Sakit itu menderita. 

Sakit tidak pernah menyenangkan, tidak pernah enak. Sebab itu, sakit jauh dari keadaan senang dan bahagia yang didambakan.

Sementara, bahagia adalah cita-cita setiap orang dalam sejarah hidupnya. Kerja, doa, dan istirahat tujuannya supaya bahagia dan senang. 

Bahasa Yunani bahagia adalah “eudaimonia”, “eu”: baik, dan “daimon”: roh penuntun. Roh pelindung. Bahagia dan senang berarti masuk dalam tuntunan atau perlindungan Roh. 

Sebab itu, ketika senang dan bahagia itu dilontarkannya, beliau tidak mengalami sakitnya dalam ukuran manusia, tetapi sudah mengalaminya menurut ukuran Roh. 

Kesetiaan tertanam sejak keduanya menyatakan fiat kehidupan keluarga. Imelda Sena sendiri sebagai istri, dengan latar belakang sekolah perawat dan juga guru
In Loving Memory Bapak Petrus Alkantara Lagho. [Foto: Suaraumat.com/Istimewa]


Beliau sedang mengalami kebaikan sesuai ukuran Roh dan sedang dalam tuntunan dan perlindingan Roh itu sendiri.

Bahkan jawaban itu adalah gambaran tentang pengalamannya nanti yang tidak bersifat sesaat, tetapi menjadi pengalamannya yang abadi, kelak.

Oleh karena kekuatan Roh, sakit mudah diterimanya yang diekspresikannya melalui kata-kata berguyon. 

“Mumpung sakit masih bisa makan enak, ayam goreng dan roti.”

Bahagia dan damai di dalam Roh, Pak Petrus Alkantara Lagho, doakan kami: istri tercinta, anak-anak dan cucu-cucumu dan juga semua keluarga-keluargamu.

Salam, Max BiaeDae.***

Editor: Konrad

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content