15 Januari 2025

Ketua STFK Ledalero Dr Otto Gusti SVD: Gereja Diutus untuk Menjadi Berkat Bagi Semua Manusia dan Alam Semesta Ciptaan Allah
Dr. Otto Gusti, SVD mengatakan, “Gereja harus mampu mendengarkan jeritan para tawanan, menyembuhkan yang sakit, mengadvokasi para korban yang dirampas hak-haknya, dan menurunkan semua yang congkak dari singgasana kekuasaan termasuk singgasana imperium ekonomi yang dibangun di atas piramida korban manusia”. (Kolase Foto: Suaraumat.com/Konrad)


Penulis: Kun

LEMBATA, SUARAUMAT.com – Dalam rangka peringatan 100 tahun Societas Verbi Divini atau SVD dalam bahasa Indonesia Serikat Sabda Allah yang berkarya misi di tanah Lembata, Nusa Tenggara Timur, pihak panitia menyelenggarakan diskusi dengan topik “Mengembangkan Pastoral Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan”. 

Ada pun seminar tersebut mengambil tempat di aula Gereja Santo Arnoldus Janssen Waikomo (SAJW), Dekenat Lembata, Keuskupan Larantuka, Flores Timur, Minggu, (12/6/2022). 

Hadir sebagai pembicara utama Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero Maumere, Sikka Flores NTT, Dr Otto Gusti Madung, SVD.

Pastor Otto menegaskan, gereja tidak diutus untuk melayani dirinya sendiri, melainkan untuk menjadi berkat bagi semua manusia apa pun latar belakangnya dan bagi alam semesta ciptaan Allah. Inilah sejatinya model misi atau pelayanan yang terbuka terhadap dunia.

“Jika tidak demikian, gereja akan menghabiskan sumber daya yang ada padanya dan gagal menjadi kabar baik bagi lingkungannya,” ujar Pastor Otto. 

Seminar ini dihadiri oleh 150 delegasi dari 17 paroki seluruh Dekenat Lembata, Ketua DPP SAJW Wens Muga Wutun, Ketua Panitia Markus Labi Waleng, Wakil Ketua Marsel Aluken, Sekretaris Freddy Tokan, dan Frans Soo, SVD mewakili Dekenat Lembata. Hadir mewakili JPIC Provinsi Ende adalah Miky SVD, Eman SVD, Eman Embu SVD, dan Vande Raring, SVD.

Mengawali pemaparan materinya pada seminar tersebut, Pater Otto mengutip pandangan Paus Fransiskus yang mengatakan, “Saya lebih bersimpati kepada gereja yang rapuh, terluka dan kotor karena menceburkan diri ke jalan-jalan daripada gereja yang sakit lantaran tertutup dan mapan mengurus dirinya sendiri”.

Menurutnya, gereja tidak boleh menarik diri dari dunia, tapi harus masuk ke tengah dunia. 

“Gereja harus menjadi gereja misioner. Itu berarti, gereja harus mewartakan sabda Allah yang membebaskan. Ia harus mampu mendengarkan jeritan para tawanan, menyembuhkan yang sakit, mengadvokasi para korban yang dirampas hak-haknya, dan menurunkan semua yang congkak dari singgasana kekuasaan termasuk singgasana imperium ekonomi yang dibangun di atas piramida korban manusia,” papar Pater Otto dalam nada kritis.

HAM harus dijunjung tinggi setinggi-tingginya

Rohaniwan Katolik kelahiran Lengko Elar, Manggarai Barat Flores, 20 Mei 1970 ini menekankan pentingnya seluruh elemen bangsa dan negara untuk menghargai hak azasi manusia (HAM). 

Dia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Azasi Manusia mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 ayat 1 UU No. 39/1999).

Sedangkan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia melihat HAM sebagai hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan, yang tak boleh dirampas atau diabaikan oleh siapa pun. 

“HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia karena kemanusiaannya. Karena itu, hak-hak asasi manusia bersifat kodrati dan keberadaannya mendahului sebuah institusi negara. Keberadaan HAM tidak bergantung pada faktor-faktor kontingen seperti asal-usul, ras, jenis kelamin, bangsa dan agama,” ungkap jebolan doktor filsafat dari Jerman itu.

Karena bersifat kodrati, lanjut pastor yang juga seorang penulis itu, HAM tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara. Negara dapat saja tidak mengakui hak-hak asasi itu. Tetapi, hak-hak asasi tidak dapat dituntut di depan hakim, dan itulah yang menentukan, hak-hak itu tetap dimiliki.

“Orang boleh saja merampas jam tangan saya, tapi jam tangan tersebut tetap milik saya. Karena itu hak-hak asasi seharusnya diakui. Negara yang tidak mengakui hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia, menunjukkan bahwa dalam negara itu martabat manusia belum diakui sepenuhnya,” ujar Pastor Otto memberi perumpamaan tentang HAM.

Pastor yang menyelesaikan S2-nya di Austria itu mengatakan, melalui HAM, tuntutan moral yang prapositif masuk ke dalam hukum positif. Jadi, HAM adalah titik simpul antara moral politik dan hukum positif, yang bertujuan memanusiakan penyelenggaraan kekuasaan demi terwujudnya kesejahteraan sosial.

Editor: Konrad

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content