10 Oktober 2024

Cerita Kukang, Si Mata Bulan aktif di malam hari yang tidak boleh dipelihara di rumah
Kukang. [Foto: Dok. BKSDA Kalimantan Tengah]

Karolina Siwi – Pecinta Satwa untuk Suaraumat.com

SUARAUMAT.com – Rabu 29 September 2021, saya berkesempatan bertemu dan berbincang dengan Kang Ismail Agung, yang bercerita tentang kukang, satwa yang dijuluki si Mata Bulan. Kang Agung, Campaign Manager International Animal Rescue Indonesia mengatakan kalau satwa liar termasuk kukang, bukanlah satwa untuk dipelihara di rumah.

Mengapa kukang, dan juga satwa liar lain, tidak boleh dipelihara di rumah sebagai hewan peliharaan? Bagaimana jika kita bermaksud melindungi mereka dengan cara memelihara, sehingga kukang tidak harus bersusah payah mencari makan, terancam predator dan juga pemburu?

Satwa yang satu ini sering disamakan dengan kuskus. Atau dengan sloth, satwa yang ada di film Zootopia. Ketiganya meskipun sama-sama mamalia, tetapi berbeda jenis, family maupun wilayah persebarannya. 

Kukang atau Slow Loris, meskipun memiliki gerakan yang lamban seperti sloth, namun satwa ini masuk dalam ordo primata dan termasuk dalam family Lorisidae. 

Primata, seperti orangutan, owa dan monyet. Sedangkan sloth atau kungkang masuk dalam ordo Pilosa. Sloth tidak ada di Indonesia, dan hanya ada di Amerika Latin.

Kukang merupakan satwa nokturnal, yang artinya dia aktif di malam hari. Memiliki ciri-ciri fisik yang mirip dengan kuskus, tetapi lagi-lagi mereka berbeda jenis. 
Cerita Kukang, Si Mata Bulan aktif di malam hari yang tidak boleh dipelihara di rumah
Carolina Siwi (kanan) saat berkunjung ke Pusat Konservasi Yayasan IAR Indonesia, Bogor. [Foto: Dok. Istimewa] 

Kuskus merupakan mamalia berkantung atau marsupialia seperti koala dan kangguru. Wajah kuskus mirip dengan kukang, namun cenderung lebih lonjong dan bermata lebih kecil. 


Iapun memiliki ekor yang panjang dan kuat. Sedangkan kukang tidak memiliki ekor. Wilayah sebaran kuskus ada di Indonesia Timur seperti Sulawesi dan Papua.

Hidup di dahan-dahan pohon di hutan, kukang terdapat di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Kukang Jawa memiliki nama latin Nycticebus javanicus (E. Geoffroy, 1812), disebut dengan Javan Slow Loris. Di daerah Jawa Barat, kukang punya banyak nama. 

Seperti Muka, Malu-malu, Aeud, juga Oces. Wajah satwa bermata bulan ini terlihat lucu dan menggemaskan. Tetapi di balik sosoknya yang imut-imut itu, ternyata kukang memiliki bisa atau racun. 

Bisa ini merupakan senjata untuk membela diri dari serangan predator maupun sesama kukang, berkaitan dengan wilayah teritoritorialnya.  

Meskipun tidak seperti bisa ular kobra, tapi gigitan kukang bisa berbahaya dan berakibat fatal bagi yang memiliki riwayat alergi. Satwa ini merupakan satu-satunya primata yang berbisa.

Sayangnya, keberadaan kukang di alam terancam punah. Salah satu penyebab terbesar merosotnya jumlah kukang di alam liar adalah karena perburuan oleh manusia. 

Juga rusaknya hutan tempat tinggal kukang. Padahal, segala bentuk dan jenis flora maupun fauna yang ada di alam ini memiliki fungsinya masing-masing dalam ekosistem. Satwa liar, seperti kukang, baru akan berperan ketika dia berada di habitat aslinya. 

Ambil satu contoh sesama primata, misalnya monyet. Habitat asli monyet adalah di hutan, dan mereka memakan buah-buahan. Biji buah yang dimakan monyet akan jatuh ke tanah, begitu juga dengan kotorannya. 

Secara alami, monyet membantu menumbuhkan pohon dan tumbuhan yang baru. Nah, sekarang bagaimana ketika hutan ditebang, monyet ditangkap, dipelihara dan disuruh menari?

Merosot di tangan manusia

Cerita Kukang, Si Mata Bulan aktif di malam hari yang tidak boleh dipelihara di rumah

Jean Jacque Rousseau (1712-1778), seorang filsuf asal Swiss-Prancis pernah menulis dalam Emile ou de l’Education (Emile atau tentang Pendidikan, 1762):


Segala-galanya adalah baik ketika muncul dari tangan Pencipta; namun merosot menjadi buruk di tangan manusia.

Ketika alam rusak, berbagai jenis satwa dan tumbuhan terancam punah, sudah menjadi kewajiban manusia untuk memperbaiki, melestarikan, demi berlangsungnya ekosistem dan hidup yang harmonis antara manusia dan satwa liar.

Itulah usaha yang dilakukan oleh International Animal Rescue Indonesia (Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia) yang ada di Bogor, Jawa Barat. 

Yayasan ini berdiri pada 14 Februari 2008, bertepatan dengan Hari Kasih Sayang. 

Entah sengaja atau hanya kebetulan, tetapi hari jadinya yang berbarengan dengan Hari Kasih Sayang seolah mengingatkan kita untuk menyayangi alam, juga satwa termasuk satwa liar. 

Dua tahun kemudian, berdiri IAR di Kalimantan untuk konservasi, rehabilitasi dan pelepasliaran kembali orangutan ke alam.

Sama seperti ‘adiknya’ di Kalimantan, IAR yang ada di Bogor, tepatnya di Curug Nangka, kaki Gunung Salak, juga melakukan konservasi, rehabilitasi dan pelepasliaran primata khususnya kukang ke habitatnya. 


Serta  melakukan edukasi, penyadartahuan masyarakat akan pentingnya pelestarian kukang dan tempat tinggalnya.

Menurut Kang Agung, ancaman terbesar kukang adalah perburuan oleh manusia untuk diperdagangkan dan dipelihara.

Tempat karantina. Sebelum dilepasliarkan, kukang eks peliharaan harus melewati masa rehabilitasi untuk jangka waktu tertentu. Nah, kembali ke pertanyaaan, mengapa kukang dan satwa liar tidak boleh dipelihara?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita melihat lebih dalam, apa yang ada dan terjadi di balik perdagangan dan pemeliharaan kukang. 

Untuk lebih lengkapnya bisa lihat di https://kukangku.id/cerita-dibalik-kukang-yang-tak-bergigi/

Kukang yang diperjualbelikan mengalami perlakuan yang kejam. 

Sebelum sampai ke tangan pembeli, gigi kukang dipotong agar tak mengeluarkan bisa lagi. Memotong gigi kukang tentu tidak sama dengan ketika kita pergi ke dokter gigi. 

Tanpa anastesi, asal potong, bisa mengakibatkan infeksi. Seringkali mulut kukang mengalami pembengkakan, sehingga tak dapat makan. Jika tak dapat makan, tentu kukang akan mati. 

Di alam liar, usia kukang bisa mencapai 5 tahun, sedangkan yang dipelihara sebagai hewan peliharaan, hanya mencapai 6 bulan.

Kukang yang diperdagangkan juga dikurung dalam kurungan (kalau kandang kesannya masih agak besar) yang kecil, berdesakan dengan kukang yang lain. Kukang akan mengalami stres. 

Bukan hanya manusia yang bisa stres, tetapi satwa juga. Jangan lupa, kalau satwa adalah juga makhluk hidup yang memiliki perasaan dan emosi. 

Ini sudah dibuktikan dengan riset dan pengamatan. Pernah melihat hewan yang berjalan mondar mandir di dalam kandang, di kebun binatang misalnya? 

Bayangkan seekor harimau yang hidup di hutan yang luas, dipaksa harus hidup dalam kandang yang sempit. Perilakunya yang berjalan mondar mandir menandakan jika satwa tersebut stres. 

Sama seperti yang kita alami di masa pandemi. Ketika kita terpaksa harus berdiam di rumah (rumah kita sendiri padahal). 

Bagaimana dengan satwa yang diambil paksa dari rumahnya, lalu hidup dalam sangkar?

Bahkan pernah ditemukan satwa yang bunuh diri. Ini mengejutkan, karena itu berarti mereka mengerti tentang konsep hidup dan mati. Selama ini kita mengira konsep tersebut eksklusif milik manusia. 

Hewan yang bunuh diri berusaha untuk lepas dari penderitaannya, yaitu perlakuan manusia terhadapnya. Memelihara satwa liar seperti kukang juga tidak membuat satwa tersebut sejahtera. 

Kondisi yang kita ciptakan tentu berbeda dengan kondisi habitat kukang di alam. Seringkali juga orang yang memelihara tidak mengerti apa makanan kukang. 

Tahunya, kukang makan buah-buahan, lalu diberilah makan buah. Karena tidak ada pilihan lain, mau tidak mau kukang akan memakannya.

Nah, bukankah tempat hidup yang terbaik bagi kukang itu adalah di alam? Melestarikan kukang, berarti melestarikan tempat hidup kukang di alam. 

Dan itu merupakan kewajiban semua, bukan hanya lembaga tertentu atau yayasan tertentu. Edukasi yang dilakukan IAR mulai menampakkan hasil. 
Cerita Kukang, Si Mata Bulan aktif di malam hari yang tidak boleh dipelihara di rumah

Penduduk yang semula memelihara kukang lalu menyerahkan kukang ke tempat konservasi. Kukang-kukang eks peliharaan tidak langsung dilepas kembali ke alam, tetapi harus melalui masa rehabilitasi. 


Malang bagi kukang yang dipotong giginya, saat kembali hidup di alam tentu dia akan mengalami kesulitan mempertahankan diri dari predator. 

Juga kukang yang terluka matanya sampai buta, tentu dia tidak akan bertahan hidup di alam. Selamanya dia akan hidup di pusat rehabilitasi.

Mari kita sayangi alam, sayangi satwa. Melestarikan alam berarti melestarikan kelangsungan hidup kita sendiri.
Editor: Konrad Kun

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content