Para Narasumber Bedah Buku “Hancur Bangun Rumah Ibadah”. [Tangkapan Layar] |
Penulis: Konradus Pedhu
JAKARTA, SUARAUMAT.com – Penolakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok intoleran di beberapa daerah terhadap berdirinya sebuah rumah ibadat Kristen sejak dahulu sampai saat ini tetap terjadi.
Hal tersebut menjadi keprihatian umat Kristen karena Indonesia terkenal dengan toleransi dalam kemajemukan, tapi itu berlaku dalam hal lain, tapi soal pembangunan Gereja sesuatu yang berbeda.
Menyikapi kejadian yang terus berulang ini Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (Pewarna), Yayasan Komunikasi Indonesia dan Pengurus Nasional Perkumpulan Senior GMKI Jakarta menggelar diskusi bedah buku yang berjudul “Hancur Bangun Rumah Ibadah” yang bertempat di Gedung Pertemuan Yayasan Komunikasi Indonesia, Jakarta Timur.
Para Narasumber Bedah Buku “Hancur Bangun Rumah Ibadah”. [Tangkapan Layar] |
Para Narasumber Bedah Buku “Hancur Bangun Rumah Ibadah”. |
Para Narasumber Bedah Buku “Hancur Bangun Rumah Ibadah”. |
Acara dibuka dengan ibadat syukur yang dipimpin Pdt. Jahenos Saragih, M.Th., MM dan MC Nelly R. Situmorang, S.E., dengan moderator Ashiong Munthe.
Kemudian dilanjutkan dengan penyerahan plakat kepada para tokoh yang berperan dalam kehadiran buku “Hancur Bangun Rumah Ibadah” Pergumulan Umat Kristen di tengah Masyarakat Intoleran tersebut.
Hadir sebagai narasumber adalah Romo Benny Susetyo (Staf khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP), Tumpak A Simanjuntak (Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri), Pdt. Henrek Lokra, (PGI), Pdt. Dr Ronny Mandang (Ketua Umum PGLII).
Para tokoh di balik kehadiran buku Hancur Bangun Rumah Ibadah. [Tangkapan Layar] |
Sebagai inisiator bedah buku hadir Dr Bernard Nainggolan (Ketua Yayasan Komunikasi Indonesia), Sahat Sinaga, SH, M.Kn. (Sekjen Perkumpulan Senior GMKI), dan Yusuf Mujiono (Ketua Umum Pewarna Indonesia), serta Merita Maryani (Direktur BPK Gunung Mulia).
Hadir sebagai undangan, Pdt. Harsanto Adi, Ketua Umum Asosiasi Pendeta Indonesia (API) dan beberapa pimpinan lembaga Kristiani lainnya.
Sebelum diskusi dimulai, para peserta dan narasumber menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
“Jika saya lihat dari persoalan dasar dari pendirian rumah ibadat terkait dengan deal politik makanya kita umat Kristiani harus mengerti dengan konteks politik global,” kata Romo Benny.
Menurutnya, dari riset yang sudah banyak ia lakukan yang namanya kaum minoritas banyak dimenangkan dan ia mengatakan bahwa umat Kristen juga harus tahu dengan adanya hal deal-deal politik kepala daerah.
“Agama juga tidak boleh dibangun dengan konteks politik dan dari buku ini kita sadari harus bisa membangun kesadaran umat Kristiani mulai dari cinta kasih dan mengerti arti dari Pancasila,” lanjut Romo Benny.
Romo Benny menjelaskan masih lebih banyak izin pembangunan rumah ibadah yang dikeluarkan, dan penolakan lebih pada dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat saja. Romo Benny juga mengingkatkan pentingnya gereja membangun hubungan baik dengan lingkungannya.
“Persoalan kebangsaan kita memang masih akan terus terjadi sehingga perlu upaya-upaya membangun hubungan sosial yang lebih baik”, pungkasnya.
Sahat Sinaga, mewakili para penulis buku menyampaikan pandangan bahwa buku Hancur Bangun Rumah Ibadah lahir sebagai refleksi atas apa yang pernah terjadi di Indonesia terkait penolakan pendirian rumah ibadat. Menurut Sahat ada dampak dari penerapan izin bagi pendirian rumah ibadah.
“Peraturan izin pendirian rumah ibadah ini terkesan membuat masyarakat saling berhadapan, maksudnya soal syarat persetujuan dari masyarakat yang dibutuhkan itu”, ungkapnya.
Lebih lanjut Sahat mengingatkan seluruh pihak untuk terus mengawal dan menjaga kerukunan dan toleransi di masyarakat terlebih untuk kebebasan beribadat.
Marita Maryani mewakili BPK Gunung Mulia mengungkapkan bahwa buku ini bagian dari kerja sama Oikumene, memajukan kerukunan dan toleransi.
“Dari sampul dan judul memang terkesan kontroversi tapi kalo dilihat isinya dengan full colour dan banyak ilustrasi yang menarik menjadikan ini literasi yang menambah literasi dalam upaya memberikan kontribusi toleransi dan pluralisme di Negara Kesatuan Republik Indonesia” jelas Marita.
Sementara Staf ahli menteri dalam negeri Tumpak, memaparkan hubungan pemerintah dengan yang diperintah. Dan dalam hal ini ada beberapa yang diatur oleh pemerintah pusat dan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.
“Dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat misal rumah ibadah itu wajib dipenuhi pemerintah”, ungkap Tumpak.
Sementara Pdt. Henrek Lokra dari PGI menyampaikan beberapa catatan hasil dari pendampingan PGI terhadap gereja-gereja yang dipermasalahkan.
Meski sepakat dengan Romo Benny, Henrek mengingatkan adanya kearifan lokal yang justru bisa menganggu toleransi dan kerukunan.
Ia mencontohkan soal Qanun di Aceh dan Budaya Ninik mamak di masyarakat Minang. Kedua hal tersebut kerapkali menjadi alasan beberapa pihak yang persoalkan keberadaan agama lain.
“Seolah-olah budaya ini lebih tinggi daripada hukum negara” cetusnya.
Para tokoh yang berperan penting menghadirkan buku Hancur Bangun Rumah Ibadah di tengah masyarakat Indonesia. [Tangkapan Layar] |
Berbeda pandangan disampaikan Ketum Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia atau PGLII. Menurutnya ada persoalan baik dari dalam umat Kristen sendiri semisal adanya anggapan bahwa gereja besar menjadi “predator” bagi gereja kecil.
“Ada kesan perizinan untuk gereja besar lebih mudah, dibanding gereja yang masih kecil” ujarnya.
Selain itu Ronny juga menyoal logo kementerian agama yang dikesankan hanya mewakili agama tertentu.
“Saya pernah meminta menteri agama yang lalu untuk mengubah logo kementerian agama yang mencerminkan toleransi”, ungkapnya.
Direktur PT BPK Gunung Mulia, Merita Maryani. [Tangkapan Layar] |
Acara bedah buku berjalan sangat dinamis dan penuh dengan materi-materi yang menambah wawasan kebangsaan, toleransi serta pluralisme.
Para peserta mengaku senang dengan terlaksananya acara tersebut dari awal sampai akhir berjalan lancar.
Pesan para narasumber maupun para tokoh di balik hadirnya buku tersebut, mereka berharap buku Hancur Bangun Rumah Ibadah ini disebarkan ke seluruh Indonesia, guna memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dalam bingkai kemajemukan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dicintai bersama.
(sum/kn)