Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum dan Theresia Iswarini sebagai narasumber. (Dok. Istimewa) |
Penulis: Konradus Pedhu
JAKARTA, SUARAUMAT.com – Seksi Keadilan dan Perdamaian Paroki Tomang, Gereja Maria Bunda Karmel Jakarta menggelar diskusi publik tentang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Sabtu, (23/7/2022).
Diskusi yang diselenggarakan secara daring itu mengangkat judul “Peran Serta Umat dalam Pelaksanaan UU TPKS di Lingkungan Gereja dan Masyarakat” dengan menghadirkan narasumber masing-masing Theresia Iswarini dari Komisioner Komnas Perempuan dan Dr Inosentius Samsul, S.H., M.Hum., Kepala Badan Keahlian Setjend DPR RI.
Kegiatan ini juga selaras dengan bunyi Pasal 85 UU TPKS, yaitu; Masyarakat dapat berpartisipasi dalam Pencegahan, pendampingan, Pemulihan, dan pemantauan terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dalam keterangan tertulis yang diterima Suaraumat.com, Inosentius mengatakan, secara filosofis, Setiap orang berhak mendapatkan pelindungan dari kekerasan dan berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia sebagaimana dijamin dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perempuan menjadi korban kekerasan seksual
Secara sosiologis, ia menjelaskan, bahwa data dari Komnas Perempuan, terdapat peningkatan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2019 dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2019 pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 406.178 kasus. Jumlah ini lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 348.466 kasus. Kekerasan terhadap perempuan tersebut tidak hanya terjadi dalam ranah personal tetapi juga publik dan komunitas serta negara. Dalam ranah personal, kekerasan terhadap perempuan yang berupa kekerasan seksual menempati peringkat kedua, sedangkan dalam ranah publik, kekerasan seksual menempati peringkat pertama.
Dia menambahkan, aspek yuridis, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual belum optimal dalam memberikan pencegahan, pelindungan, akses keadilan, pemulihan, dan memenuhi kebutuhan hak korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta belum komprehensif mengatur mengenai hukum acara.
Gereja hadir
Para Pengurus Seksi Keadilan dan Perdamaian Paroki Tomang, Gereja Maria Bunda Karmel Jakarta Barat. (Dok. Istimewa) |
Menurutnya, Politik adalah bagian dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Gereja hadir dalam masyarakat, bangsa, dan negara tertentu. Gereja tidak bisa memisahkan diri dari dunia, walaupun ia bukan dari dunia. Gereja harus memberikan sumbangsih dalam kehidupan dunia, maka gereja perlu terlibat dan menggarami kehidupan sosial dan politik bangsa dan negara dimana ia hadir.
“Gereja perlu dan harus memengaruhi kebijakan pemerintahan, termasuk melalui Undang-Undang agar masyarakat, bangsa, dan negara tersebut dapat menuju atau mempertahankan kesejahteraan dan keadilannya. Tetapi gereja terlibat dalam kehidupan sosial politik dunia dengan cara dan kaidahnya sendiri. Ia tidak terlibat dalam kehidupan dunia menurut cara dunia. Dalam hal ini, gereja secara institusi tidak terlibat dalam politik praktis/partisan,” paparnya.
Berikut materi lengkap diskusi yang dipaparkan Inosentius Samsul dan Theresia Iswarini.
Misi Gereja dalam bidang hukum suatu panggilan Allah dan tugas perutusan
Makna yang paling tepat terhadap penegakan hukum atau undang-undang adalah suatu panggilan dan perutusan. Sebab penegakan hukum sesungguhnya merupakan suatu tata kehidupan untuk membawa perubahan, penyempurnaan dan perbaikan, bahkan kesejahteraan umat manusia.
Umat Kristiani haruslah mengambil peran penting dalam penegakan hukum di Indonesia, baik keterlibatan melalui supra struktur politik maupun infrastruktur politik. Namun hal yang jauh lebih penting adalah keterlibatan dalam arti menjadi warga negara yang patuh dan taat kepada hukum, warga negara yang menjauh dari larangan-larangan atau taat perintah hukum.
Kewajiban Gereja dan Umat Allah
Matius menulis: “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga.” (Matius 5:17-19).
Pesan ini sangat jelas, bahwa kewajiban yang diletakan kepada umat Kristiani adalah mentaati hukum negara, sebab hukum agama atau ajaran cinta kasih tidak dimaksudkan untuk mengesampingkan hukum negara. Bahkan seharusnya, cinta kasih haruslah menjadi nilai dasar bagi penegakan hukum. Para penegak hukum harus menggambarkan keberadaan dan penghayatan iman kepada Kristus Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat.
Umat Kristiani harus kritis
Umat Kristiani juga dituntut untuk selalu bersikap kritis karena Firman Tuhan mengatakan; “Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.” (Matius 23:3). Itulah sebabnya Tuhan Yesus menghendaki agar kita tidak munafik, ibarat berpakaian hukum tetapi berhati penyamun, bermata pezina, bertangan pembunuh dan berwajah koruptor.
Yesus adalah Pribadi yang taat akan hukum
Dalam Diri Yesus terdapat pula sikap ketaatan yang luar biasa, sehingga rela mengikuti kehendak Bapa untuk disalib demi keselamatan manusia. Disinilah letak makna dari sikap mentaati hukum, yaitu keselamatan dan kedamaian. Dengan perkataan lain; Yesus Kristus adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup (Yohanes 14:6). Siapa yang menjadi penegak hukum ia harus memiliki terang seperti yang dilakukan Yesus Kristus sendiri agar ia tidak berjalan dalam kegelapan dengan menyalahgunakan kekuasaan, pemerasan, melakukan korupsi dan sebagainya.
Yesus sebagai Pembentuk hukum
Dalam konteks iman Kristiani Yesus Kristus adalah realisasi yang paling sempurna daripada hukum itu sendiri dan oleh karena itu pencerminan hukum dalam geraknya adalah pencerminan daripada perbuatan dan perilaku Yesus Kristus. Sebagai pembentuk hukum, Yesus sendirilah yang mengajarkan hukum cinta kasih dan dalam diri Yesus sendiri melekat kualitas hidup sebagai sebagai Hakim Agung, karena mampu mempertahankan dan mengajarkan kebenaran sejati.
Pentingnya sikap hidup
Tugas perutusan Yesus kepada umat Kristiani dijalankan melalui sikap hidup sehari-hari yang penuh dengan semangat cinta kasih dan upaya penegakan hukum, sabar dan kuat dalam penderitaan, peduli, dan solider. Yesus memberikan berkat perutusan kepada umat yang artinya umat Kristiani diminta menjadi saksi atas cinta Tuhan kepada manusia.
Sedangkan Theresia Iswarini memaparkan tentang Partisipasi Umat/Klerus dalam Upaya Penghapusan Kekerasan Seksual di (Lingkungan) Gereja
Menurut Theresia; bagaimana kita dapat mencegah dan merespons kekerasan seksual di keluarga, Gereja & masyarakat? Berikut selengkapnya!
Upaya Pencegahan
• Pengenalan/literasi kepada anak�anak, remaja dan orang dewasa agar memahami bahaya kekerasan seksual, mengerti indikasi dan karakter tindakannya, & memiliki kapasitas untuk meresponsnya.
• Terlibat dalam pelatihan terkait protokol
• Membangun pakta integritas anti kekerasan seksual di lingkungan Gereja
• Mendorong khotbah/kampanye terkait anti kekerasan seksual di tingkat paroki-paroki.
Penanganan & Pemulihan
• Sebagai pendamping korban; memahami cara mengakses layanan penanganan dan pemulihan termasuk cara
melakukan pengaduan atau pelaporan kasus, mengakses layanan medis, psikologis, spiritual, serta hukum yang dibutuhkan.
• Mencari akses pemulihan korban dan atau membantu pemulihan korban.
Pengawasan
• Memastikan implementasi keputusan sanksi (apabila dilakukan oleh klerus)
• Memastikan pemenuhan hak-hak korban.
Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) berkomitmen semakin menghargai martabat manusia dengan mencegah dan mengupayakan penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual khususnya anak dan dewasa rentan (Protokol Perlindungan Anak dan Dewasa Rentan dari Kekerasan Seksual).
Mengapa korban sebagai pusat penanganan & pemulihan?
Kerja sama dan sinergitas;
– Budaya patriarkhi (termasuk di lingkungan Gereja) dan hukum positif Indonesia masih berpihak pada
pelaku dan luput memikirkan korban.
– Dampak kekerasan seksual terhadap korban:
– Hidup dalam kondisi tertekan, cemas, malu, labil, was�was, emosional (marah, menangis, tertawa, sedih dll).
– Traumatis, berdampak terhadap gangguan jiwa.
– Cenderung menutup diri dari pergaulan.
– Gangguan kesehatan
– Stabilitas ekonomi terganggu.
– Mewariskan kekerasan.
– Rentan terhadap kekerasan lanjutan.
Kasus kekerasan seksual masa anak-anak yang dilakukan oleh klerus dan religius seringkali diabaikan karena ada anggapan bahwa pemimpin agama tidak mungkin menjadi pelaku kekerasan. Korban mengungkap kekerasan seksual yang dialami masa kanak-kanak sekitar 10-20 tahun kemudian.
Keberpihakan pada korban diperkuat dalam Hukum Gereja
“Jika satu anggota menderita, maka semua anggota turut menderita” (1Kor 12:26).
Prinsip keadilan, khususnya bagi korban, menjadi prinsip utama.
Pertama, korban harus didengarkan dengan penuh rasa hormat.
Kedua, penting menanggapi segala macam keluhan serta informasi secara cepat, serius, dan penuh kepekaan pastoral.
Ketiga, bekerja sama dengan pelapor atau korban untuk mengidentifikasi kebutuhan yang harus segera ditanggapi untuk menjamin bahwa korban akan merasa aman dan sexual misconduct tidak akan terulang lagi pada dirinya.
Keempat, membantu proses penyembuhan bagi korban maupun orang-orang yang terdampak dari tindakan tersebut.
Kelima, mengusahakan “perbaikan anggota, ganti rugi keadilan, serta pemulihan sandungan” (Kanon 695 § 1).
(sum/kpn)