SUARAUMAT.com, Canterbury, Inggris – Katedral Canterbury, tempat bersejarah yang menjadi tempat penobatan para pemimpin Gereja Inggris selama berabad-abad, baru-baru ini menjadi lokasi kontroversial setelah dijadikan tempat acara disko.
Acara yang bertajuk “Silent Disco” ini dihadiri oleh sekitar 750 orang yang menari dan bergoyang mengikuti irama musik disko yang mereka dengarkan melalui headphone.
Meskipun tidak ada suara musik yang terdengar dari luar, namun umat Kristen di Inggris tetap merasa marah atas kejadian ini.
Mereka merasa bahwa tempat ibadah tidak pantas dijadikan tempat untuk berdisko, bahkan meskipun acaranya dilakukan secara diam-diam.
Silent Disco adalah jenis pesta di mana para pengunjungnya mendengarkan musik melalui headphone, sehingga tidak ada suara yang keluar dan mengganggu orang lain.
Namun, bagi umat Kristen, penggunaan Katedral Canterbury sebagai tempat disko, meskipun silent disco, tetap saja dianggap sebagai tindakan yang tidak menghormati kesucian tempat ibadah.
Kemarahan umat Kristen semakin diperkuat dengan fakta bahwa acara tersebut diadakan pada hari Minggu, yang merupakan hari suci bagi mereka.
Pihak Katedral Canterbury sendiri telah meminta maaf atas kejadian ini dan berjanji tidak akan mengadakan acara serupa di masa depan.
Peristiwa ini kembali membuka perdebatan tentang penggunaan tempat ibadah untuk kegiatan non-religius.
Di satu sisi, ada yang beranggapan bahwa tempat ibadah seharusnya hanya digunakan untuk kegiatan keagamaan.
Di sisi lain, ada juga yang beranggapan bahwa tempat ibadah dapat digunakan untuk kegiatan lain selama tidak melanggar nilai-nilai agama.
Kasus Katedral Canterbury ini menjadi contoh bagaimana perbedaan pandangan tentang penggunaan tempat ibadah dapat memicu kontroversi dan kemarahan.
“Kami tidak ingin ada pesta penuh minuman beralkohol, sambil mendengarkan musik Eminem di Rumah Tuhan,” protes Dr Cajetan Skowronski, selaku perwakilan pendemo, seperti dikutip dari New York Post, Minggu 18 Februari 2024.
Skowronski menyebut tidak ada agama lain di dunia yang bakal menggunakan bangunan suci, seperti Katedral Canterbury, sebagai tempat acara musik disko.
Acara musik disko seperti itu, diyakini Skowronski, akan membuat umat Nasrani kehilangan keimanannya.
“Disko dan pesta seperti itu bagus, tapi hanya jika digelar di tempat yang semestinya. Di kelab malam bagus, tapi Katedral Canterbury tidak dibangun untuk acara ini,” semprot Skowronski.
Pesta disko tersebut mewajibkan pengunjung membayar biaya masuk sebesar 31 poundsterling, atau sekitar Rp609 ribu.
Skorownski berencana untuk mengorganisir demonstrasi damai bersama sekitar 30 umat Kristen lainnya, menentang keputusan pimpinan katedral yang memperbolehkan acara disko di tempat bersejarah tersebut.
“Jika kita tidak melawan, kuil kuno kami ini akan berubah menjadi kelab malam betulan. Dan keimanan Kristen di negara ini akan musnah. Kami akan menjaga tempat ini seusai dengan fungsi aslinya, sebagai tempat untuk memuja Tuhan,” pungkas Skorownski.
Sebuah jajak pendapat pun digelar mengenai acara silent disco tersebut. Hasilnya, sebanyak 54 persen warga setempat ternyata setuju dengan event disko tersebut. Sementara itu, 46 persen sisanya menolak event disko di Katedral Canterbury.
“Katedral akan tetap menjadi elemen penting dalam kehidupan masyarakat, yang melampaui peran utamanya sebagai tempat ibadah Kristen.”
“Selama berabad-abad, katedral ini telah menjadi tuan rumah bagi berbagai acara termasuk tarian dan perayaan lainnya.”
“Alkitab bahkan mencatat peristiwa penobatan Raja David di dalamnya. Saya akan memastikan bahwa setiap acara yang diselenggarakan tetap menghormati dan menjaga martabat katedral,” ungkap Dr. Monteith, pemimpin Katedral Canterbury.***