SUARAUMAT.com – Bagi para penikmat wisata budaya, menjelajahi candi-candi yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah pengalaman yang memikat.
Namun, dari sekian banyak candi yang tersebar di Yogyakarta, satu yang belum banyak menjadi perbincangan adalah Candi Ijo, sebuah candi yang letaknya paling tinggi di antara candi-candi lain di wilayah tersebut.
Menyusuri jalan menuju bagian selatan kompleks Istana Ratu Boko, kita akan disuguhkan dengan pemandangan yang mengasyikkan. Bangunan candi-candi yang kokoh bertebaran bak cendawan di musim hujan, menciptakan atmosfer magis yang begitu memukau.
“Candi Ijo merupakan salah satu permata tersembunyi di tengah kompleks Istana Ratu Boko. Keindahannya dan letaknya yang tinggi membuatnya menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung yang mengunjungi Yogyakarta,” ungkap seorang pengamat sejarah lokal.
Meskipun belum banyak menjadi perbincangan, Candi Ijo memiliki keunikan dan keindahan tersendiri yang patut diapresiasi.
Dilansir dari website Nationalgeographic, Candi Ijo adalah sebuah keajaiban arsitektur yang menjadi pemujaan bagi banyak orang dan telah menjadi saksi bisu dari masa kejayaan Jawa Kuno.
Para ahli sejarah mengungkap bahwa Candi Ijo diperkirakan dibangun sekitar tahun 850 – 900 Masehi, pada masa pemerintahan raja-raja dari Kerajaan Mataram Kuno, yaitu Rakai Pikatan dan Rakai Kayuwangi.
“Candi Ijo adalah bukti nyata dari kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki oleh Kerajaan Mataram Kuno. Bangunannya yang megah dan terawat dengan baik adalah warisan berharga yang harus dilestarikan,” ungkap seorang ahli arkeologi.
Latar Belakang Nama Candi Ijo
Sebuah fakta menarik terkuak dari Prasasti Poh, ditemukan di Desa Randusari, Kabupaten Klaten, yang membawa informasi tentang bagaimana nama Candi Ijo berasal dari masa lalu.
Menurut Prasasti Poh yang berangka tahun 906 Masehi dan berbahasa Jawa Kuno, terdapat penggalan “… anak wanua i wuang hijo …” yang mengartikan sebagai anak desa, orang Ijo.
Prasasti ini menyediakan petunjuk penting tentang asal usul nama Candi Ijo, yang mengaitkan nama tersebut dengan wilayah geografis di sekitarnya.
Namun, nama Ijo dalam konteks ini tidak merujuk pada warna hijau seperti yang mungkin diduga oleh banyak orang. Sebaliknya, nama tersebut merujuk pada karakteristik geografis dari lokasi candi itu sendiri.
Candi Ijo berada di perbukitan yang subur dan mempesona, dikenal dengan nama “Gumuk Ijo” karena hijaunya bentangan alam yang memukau.
Prasasti Poh sendiri memiliki nilai sejarah yang sangat berharga. Terdiri atas 2 lembar lempeng tembaga berukuran panjang 50 cm dan lebar 20,5 cm, prasasti ini tercatat pada masa pemerintahan Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung dari Kerajaan Mataram Kuno. Wilayah kekuasaannya mencakup Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali.
Dengan penemuan ini, kita semakin memahami kekayaan sejarah dan budaya yang terkandung dalam situs-situs bersejarah di Indonesia. Nama Candi Ijo tidak hanya sekadar label, tetapi juga mengandung cerita yang kaya akan sejarah dan warisan nenek moyang kita. (MS)***