15 Oktober 2024

Udayana ketika menggarap lahan pertaniannya di sisi selatan Danau Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Foto: Ronald.

SUARAUMAT.com- Tuhan menganugerahi masyarakat Bali dengan kekayaan alam yang luar biasa. Alam menyajikan berbagai manfaat yang bisa dipetik untuk kehidupan umat manusia di tempat ini.

Dalam perajalanan tim Suara Umat menjelajahi Pulau Dewata, kami menyempatkan untuk singgah di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Kami pun memutuskan untuk menginap di Batur Green Lake sebuah penginapan yang berlokasi persis di tepian Danau Batur, dengan latar belakang Gunung Batur (1.717 mdpl).

Di sela-sela sarapan pada Rabu pagi (20/03), Ronald dan Mihardo dari Suara Umat berkesempatan berkenalan dengan Udayana (35), warga lokal yang tengah membersihkan lahan pertanian garapannya persis di samping penginapan.

“Saya sedang membersihkan lahan dari alang-alang, nantinya mau ditanami bawang dan tomat,” ujar Udayana ramah sembari mengayunkan garpu tanah miliknya ke arah semak belukar.

Dalam perbincangan kami Udayana berkisah dirinya dilahirkan dan dibesarkan di Kintamani. Ketika masih berada di dalam kandungan ibunya, ayah Udayana yang berprofesi sebagai anggota ABRI (kini TNI) harus menerima penugasan ke Aceh.

Oleh ayahnya, sang ibu dititipkan pesan agar memberi nama anak mereka Udayana sesuai dengan nama seorang raja yang pernah berkuasa di Bali. Nama raja ini pula yang kemudian menginspirasi penamaan sebuah Komando Daerah Militer yang berkedudukan di Denpasar, Bali, yakni Kodam IX Udayana, tempat di mana ayah dari Udayana mengabdi.

Udayana menjelaskan, ketika beranjak remaja dirinya pernah ditawari untuk mendaftar sebagai anggota TNI, tetapi akhirnya dia lebih memilih jalan hidup sebagai seorang petani.

“Selain dekat dengan kampung halaman, hasil dari pertanian yang saya tahu selama ini juga lumayan,” ujarnya.

Ayah Udayana telah lama wafat, sehingga kini dirinya mesti menggarap lahan pertanian milik mereka dengan bantuan dari sang ibu.

Lokasi yang menjadi lahan pertanian Udayana berupa tanah berpasir hitam berukuran 25x 15 meter di tepi Danau Batur.

Pemandangan Danau Batur dan Gunung Batur, di Kecamatan Bangli, Provinsi Bali. Foto: Ronald.

Warna kehitaman di pasir merupakan buah aktivitas letusan gunung api Batur, dua puluh ribu tahun silam. Material letusan terdiri dari berbagai unsur, salah satunya pasir bewarna kehitaman yang umum ditemui di pinggiran dan dasar Danau Batur.

Di tempat ini, Udayana dan sang ibu biasa menanam bawang dan tomat. Setiap bibit bawang yang ditanam dapat dipanen setelah dua bulan, sedangkan untuk tomat bisa ditanam berdampingan dengan bawang dan dipanen setiap dua setengah bulan.

“Di sini tanahnya berpasir tapi sangat bagus untuk tanaman. Setelah dibersihkan, tanahnya tinggal diberi pupuk dan kemudian bisa ditanami bawang dan tomat bersebelahan. Untuk proses menanamnya juga lebih mudah, karena tinggal membuka permukaan pasir dengan tangan kemudian langsung ditanam,” kata pria berkumis tipis dan berperawakan tegap ini.

Saat menunggu waktu panen tiba, Udayana menggantungkan hidupnya sebagai nelayan dengan menangkap ikan yang hidup di Danau Batur. Danau Batur memiliki titik terdalam 75 meter dari permukaan air danau, berdasarkan hasil pengukuran terkini yang dilakukan oleh Dinas Perikanan Provinsi Bali.

Berbagai jenis ikan mulai dari Mujair (Oreochromis Mossambicus), Nila (Oreochromis Niloticus), Gabus (Channa Striata), dan Lele (Clariidae), menjadi jenis ikan langganan yang ditangkap oleh Udayana untuk kemudian dijual ke pasar atau sebagai lauk makan bagi keluarga kecilnya.

“Ikan-ikan yang hidup liar (bukan di keramba) biasanya makan tumbuh-tumbuhan yang ada di pinggir danau, lumut, dan plankton,” jelasnya.

Dalam proses penangkapan ikan, Udayana dan mayoritas nelayan di Danau Batur menggunakan jaring maupun kail pancing sederhana. Tujuannya adalah menghindari dampak yang dapat merusak ekosistem danau, saat proses penangkapan ikan dilakukan.

Efek cara menangkap ikan secara tradisional ini juga amat terasa, karena kebutuhan pangan alami ikan dapat terjaga walau tanpa adanya campur tangan manusia.

Menurut Udayana, makanan yang disediakan oleh alam ikut mendukung pertumbuhan bobot ikan yang hidup secara liar hingga hampir dua kali lipat. Jika biasanya ikan hasil budidaya di keramba memiliki bobot antara dua hingga empat kilogram, hasil tangkapan di alam jauh berbeda.

“Pastinya berbeda jauh. Saya pernah menangkap ikan menggunakan pancingan, saya kaget karena ternyata yang saya tangkap adalah Ikan Mujair dengan berat lima kilogram. Bahkan saya pernah menangkap Lele yang beratnya sampai tujuh kilogram,” ujar ayah dari satu orang anak yang tengah menunggu kelahiran putra keduanya ini.

Udayana meyakini, kebaikan alam merupakan anugerah Tuhan bagi masyarakat di Kintamani. Hal itu ditandai dengan banyak kemudahan yang mereka terima ketika bertani hingga menangkap ikan.

“Tanah di sini subur, berbeda dengan di tempat lain yang tanahnya bewarna kuning dan sulit untuk ditanam. Bahkan untuk menanam di tanah kuning perlu usaha yang lebih keras ketimbang di lahan pertanian berpasir hitam seperti di tempat ini,” jelasnya.

Dirinya kemudian berpesan sudah selayaknya manusia bersyukur atas setiap pemberian dari Tuhan mulai dari cara-cara sederhana, yakni dengan ikut menjaga kelestarian dan keseimbangan alam itu sendiri. Dengan demikian tercipta suatu harmoni di antara alam dengan manusia.

“Yang pasti kita harus menjaga jangan sampai alam dirusak,” ujar Udayana menyudahi perbincangan kami.

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content