SUARAUMAT.com- Matahari muncul dan meninggi di sisi timur Gunung Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, pada Kamis pagi (21/03).
Sejurus kemudian, seorang gadis berperawakan tinggi mengenakan kebaya dan kain tradisional Bali berjalan menuju pelataran sebuah komplek penginapan dengan membawa sejumlah banten (wadah) Canang Sari, sebuah wadah sesaji yang berisikan lima jenis bunga dengan jenis dan warna berbeda.
Di bagian tengah Canang Sari terdapat irisan daun pandan wangi, beras, dan Nasi Saiban. Tak ketinggalan, dua batang dupa yang telah dibakar dan mengeluarkan aroma harum turut dibawa serta.
Ketika tiba di angkul-angkul yakni penyebutan bagi gerbang rumah dengan arsitektur khas Bali, sebuah wadah Canang Sari ditempatkan. Lantunan doa dengan gerakan ritual khusus kemudian diperagakan oleh sang gadis.
Ia adalah Ni Kadek Priyanti (24), gadis asal Kabupaten Bangli yang bekerja sebagai penanggungjawab rumah tangga sekaligus pemandu bagi wisatawan yang menginap di Batur Green Lake, sebuah penginapan yang berlokasi di tepi selatan Danau Batur.
Selain membantu mengurus keperluan para tamu, Kadek-sapaan akrab Ni Kadek Priyanti- juga ditugasi oleh pemilik penginapan untuk melaksanakan rutinitas doa pagi dan sore di penginapan. Tujuannya untuk memohon keberkahan dan perlindungan dari Sang Maha Pencipta atas segala usaha dan kesehatan mereka, sepanjang hari.
Tepat di samping angkul-angkul terdapat sebuah sumur sumber air utama di penginapan, yang ditutup dengan beton. Di tempat ini juga Kadek menempatkan sebuah wadah Canang Sari. Alasannya sederhana, karena bagi masyarakat Bali air merupakan elemen penunjang kehidupan setiap makhluk yang hidup di Bumi. Oleh karenanya keberadaan air mesti dimanfaatkan secara bijaksana dan dihargai keberadaannya.
Gadis berkulit sawo matang dan berhidung mancung yang acapkali disangka peranakan India ini kemudian lanjut melangkahkan kakinya menuju sebuah pelinggih Tugu Karang atau sebuah altar yang dipercaya umat Hindu Bali sebagai pelindung atau penjaga rumah dari gangguan yang terlihat oleh manusia (skala), maupun yang tak kasat mata atau gaib (niskala).
Pelinggih ini terletak di pojok timur komplek bangunan penginapan. Di tempat ini sekali lagi Kadek meletakkan sebuah banten Canang Sari di bagian muka pelinggih, kemudian dilanjut melantunkan doa dengan sikap berlutut dan kedua telapak tangan yang dirapatkan di bagian muka dahi.
Sebagai penganut ajaran Hindu Kadek meyakini bahwa Tuhanlah pemilik kuasa dalam menciptakan seluruh makhluk hidup di dunia, termasuk pula makhluk yang tak kasat mata.
Layaknya manusia, makhluk tak kasat mata juga terbagi menjadi dua jenis, yakni yang baik maupun yang jahat.
“Sebagaimana manusia, ada manusia yang baik dan ada pula yang jahat. Nah untuk makhluk yang tak kasat mata juga demikian. Mereka tinggal lebih dahulu sebagai penghuni di sini, dan tugas kita adalah menghargai keberadaan mereka,” ujar Kadek.
Menurut Kadek, makhluk tak kasat mata yang dimaksud juga ikut membantu dalam menjaga hunian manusia dari gangguan roh jahat yang mencoba masuk ke dalam. Untuk itu lah sesaji diberikan, namun bukan sebagai persembahan doa layaknya kepada Sang Pencipta, melainkan sebuah bentuk penghargaan atas peranan yang sudah mereka berikan.
Kadek amat menghormati setiap perbedaan pandangan dalam beragama yang memang sudah menjadi kodrat bagi bangsa Indonesia. Sikap saling menghormati dan menghargai terhadap sesama anak bangsa pada akhirnya menjadi kunci bagi terciptanya hubungan yang harmonis dan mempersatukan di tengah perbedaan.