5 November 2024

Mina dari Suara Umat ketika berfoto di depan susunan tengkorak manusia di kompleks pemakaman Trunyan. Foto: Ronald.

SUARAUMAT.com- Pertama kali mendengar kata Trunyan seketika ingatan masyarakat pada umumnya akan melayang kepada keberadaan sebuah makam kuno yang terletak di tepian Danau Batur, Kecamatan Kintamani, Bali.

Ketika berkesempatan menginap di kawasan Kintamani pada tanggal 19 hingga 21 Maret lalu, tim Suara Umat mendapatkan informasi mengenai makam Trunyan dari penanggungjawab rumah tangga di tempat kami menginap, Ni Kadek Priyanti (24).

Usai menjelaskan secara singkat mengenai makam Trunyan, Kadek kemudian memperkenalkan kami kepada Donald (39), seorang putra Bali asli dari Desa Trunyan.

“Selamat pagi, perkenalkan saya Donald,” ujar Donald ketika menemui kami di penginapan, Rabu pagi (20/03).

Pria bertubuh kekar dengan sebagian kulit tubuhnya dihiasi tato artistik khas Suku Maori itu adalah seorang Pecalang, yakni penegak hukum adat Bali, di Desa Trunyan.

Setelah berbincang singkat, Donald yang juga merupakan penggagas paguyuban pemandu wisata Kembang Jujur ini kemudian mempersilahkan Suara Umat untuk berkendara bersamanya menuju Desa Trunyan, yang terpaut waktu tempuh 15 menit dari tempat kami menginap.

Bibir Danau Batur dengan latar belakang Gunung Batur yang mulai ditutupi kabut menemani perjalanan kami selama menuju ke Desa Trunyan. Kontur jalan berliku dengan tanjakan dan turunan curam mendominasi jalur yang kami lalui.

Di beberapa sudut jalan menuju Desa Trunyan, mobil yang berlalu lalang harus bergiliran melintas akibat sempitnya ruas jalan.

Tak berapa lama tibalah kami di gerbang Desa Trunyan yang berdiri diapit oleh lahan pertanian warga.

Udara sejuk langsung menerpa wajah ketika kami turun dari kendaraan. Rasa takjub seketika merasuki perasaan kami, akibat indahnya pemandangan Danau dan Gunung Batur dari tepi Desa berpenduduk 3 ribu jiwa ini.

Sebuah dermaga terapung bertuliskan “Dermaga Desa Trunyan” berdiri megah di pinggir desa. Di bawahnya, bersandar sejumlah kapal kecil yang terbuat dari kayu maupun fiberglass.

Sebuah sampan tradisional di sudut dermaga Desa Trunyan. Foto: Ronald.

Donald lalu memperkenalkan kami kepada seorang pemandu wisata yang juga merupakan warga asli Desa Trunyan, bernama Wayan (50).

Meski tak lagi berusia muda, Wayan nampak sigap membantu kami ketika akan menaiki perahu sewaan menuju ke kompleks pemakaman. Sebelumnya, tak lupa Wayan membawa kopi hitam yang telah diseduh dan makanan kecil untuk diletakkan sebagai sesaji di gerbang masuk pemakaman.

Kami menumpangi sebuah perahu motor yang terbuat dari fiberglass, dengan ditemani oleh seorang jurumudi. Sebagai seorang pemandu, Wayan duduk di bagian haluan sembari menjelaskan pembagian kompleks pemakaman.

Perahu kami lalu meluncur pelan di permukaan air danau yang tenang. Dari tengah danau, kami kembali disuguhi pemandangan alam yang menakjubkan. Lereng curam perbukitan yang berada persis di belakang desa nampak kehijauan dengan sebagian sisinya ditumbuhi savana.

Di tengah perjalanan Wayan menunjuk ke sebuah tepian danau dan menjelaskan bahwa di situlah dimakamkan warga desa Trunyan yang meninggal ketika masih bayi, maupun warga desa yang belum pernah menikah sekalipun mereka telah menginjak usia lanjut.

Namun sayang, pemakaman yang dijelaskan Wayan tertutup oleh rimbunnya semak-semak di tepian danau. Kami pun tidak diizinkan merapat ke tempat tersebut.

Dijelaskannya pula, ada tiga jenis kompleks pemakaman dari warga Desa Trunyan. Yang pertama adalah warga desa yang meninggal secara wajar akibat dari lanjut usia ataupun karena sakit, yang kedua adalah pemakaman yang diperuntukkan bagi warga desa yang berusia bayi atau belum pernah menikah, sedangkan ketiga adalah pemakaman dari warga desa yang meninggal secara tidak wajar seperti kecelakaan atau bunuh diri.

Selang sepuluh menit dari waktu keberangkatan akhirnya kami tiba di dermaga apung pemakaman Trunyan. Di tempat inilah Wayan kembali memberikan penjelasan secara detail mengenai keberadaan dari kompleks pemakaman yang mengundang perhatian wisatawan mancanegara, itu.

Dermaga di pemakaman Trunyan. Foto: Ronald.

Menurut keterangan Wayan, Trunyan merupakan nama dari sebuah pohon yang mengeluarkan aroma wangi berlokasi tepat di bagian tengah kompleks pemakaman.

Wayan menambahkan, kata “Trunyan” berasal dari dua kata yakni “Taruh” dan “Menyan”. Taruh dalam bahasa setempat memiliki arti “kayu”, sedangkan menyan mengandung arti “wangi”.

Penyebutan Taruh Menyan kemudian mengalami penyederhanaan oleh masyarakat setempat hingga menjadi kata Terunyan atau Trunyan.

Desa Trunyan berdiri sejak tahun 911 Masehi (833 Caka). Namun Wayan tidak mengetahui secara pasti, sejak kapan kompleks pemakaman ini dibuka.

Di tepi dermaga, Wayan kemudian mempersilahkan kami untuk mengabadikan gerbang dan halaman dalam sebuah pura yang berada di kompleks pemakaman, dengan catatan tidak ada anggota tim kami yang sedang mengalami datang bulan.

“Pura ini berdiri hampir bersamaan dengan adanya kompleks pemakaman,” ujar pria tegap ini.

Pura di kompleks pemakaman Trunyan, dengan latar belakang Danau Batur. Foto: Ronald.

Kami pun lalu lanjut berjalan menuju area pemakaman, setelah melewati sebuah pusat informasi tentang makam Trunyan.

Berbeda dengan wilayah lainnya di Pulau Bali, masyarakat Desa Trunyan tidak mengkremasi  jenazah kerabat mereka yang telah meninggal. Setelah jenazah dimandikan dan diupacarai, selanjutnya jenazah dibawa menuju ke kompleks pemakaman menggunakan sampan kecil tradisional yang terbuat dari kayu.

“Jenazah dibawa dibawa menggunakan sampan dan diletakkan di bagian tengah. Lalu terdapat dua orang pendayung yang duduk di sisi haluan dan buritan sampan, kemudian mendayung hingga ke dermaga makam,” ujar Wayan.

Hanya pengiring jenazah yang diperbolehkan mengantar menggunakan kapal motor, mengikuti di bagian belakang sampan selama perjalanan menuju ke dermaga makam.

Selanjutnya jenazah ditempatkan di kompleks perkuburan, di dalam sebuah sangkar bambu. Sedangkan bade atau alas anyaman dan banten yang dipakai untuk mengantarkan jenazah ditenggelamkan di Danau Batur.

Penampakan pusara di makam Trunyan. Masyarakat Trunyan dimakamkan di sisi pohon Taruh Menyan, dengan dibungkus kain dan tanpa penutup wajah seperti layaknya manusia yang sedang tidur. Foto: Ronald.

Kesan sakral sekaligus mistis langsung terasa ketika kami sampai di gapura kuburan. Sebuah pohon raksasa dengan akar menjuntai seakan menyambut kedatangan kami. Pohon inilah yang dinamakan dengan pohon Taruh Menyan.

Melansir dari beberapa sumber yang dihimpun Suara Umat, pohon Taruh Menyan di pemakaman Trunyan merupakan satu-satunya di dunia. Sejumlah upaya pernah dilakukan untuk membudidayakan pohon jenis ini namun tidak pernah membuahkan hasil.

Pohon Taruh Menyan memiliki karakter seperti pohon beringin (Ficus Benjamina), berbatang bulat, bertekstur kulit kasar, memiliki bunga seperti bunga melati yang mengeluarkan aroma wangi.

Tepat di samping pohon Taruh Menyan terdapat sebelas pusara dari warga Desa Trunyan. Menurut Wayan pusara yang ada harus selalu berjumlah sebelas, sebagaimana dipesankan secara turun temurun oleh pelingsir, yakni nenek moyang mereka.

“Jadi nanti kalau ada warga masyarakat lain yang meninggal, maka jenazah yang paling lama dimakamkan di antara sebelas pusara ini akan diangkat dan digeser dan ditumpuk di sini. Lalu jenazah warga yang baru wafat selanjutnya akan dimakamkan di tempat yang telah dikosongkan tadi,” ujar Wayan sembari menunjuk ke arah tumpukan jenazah yang telah dipindahkan, dengan kondisi terurai dan menyisakan sejumlah tulang belulang, rambut, maupun kulit saja.

Mina Zai, presenter Suara Umat yang ikut ke lokasi kemudian memberanikan diri untuk melihat lebih dekat salah satu jenazah wanita yang dikubur di dalam sangkar bambu. Hanya kain dan perlengkapan pemakaman dari jenazah saja yang masih tampak utuh.

“Jadi cara penguburan di Trunyan seperti ini. Hanya badannya (jenazah) yang dibungkus dengan kain kemudian mukanya dibiarkan terbuka seperti ketika dia (almarhumah) tidur,” ucap Wayan lagi.

Di bagian tumpukan jenazah yang telah dipindahkan terdapat banyak tulang belulang dan sejumlah barang peninggalan yang dipakai oleh warga desa semasa mereka hidup.

“Memang keluarga dari almarhum ini kan mengingat bahwa di Surga nanti almarhum akan mendapatkan makanan dan minuman. Jadi sewaktu dikuburkan, almarhum dibekali dengan peralatan dapur selengkapnya, seperti ketika mereka masih hidup di dunia,” tambahnya.

Desa Trunyan dilihat dari tengah Danau Batur. Foto: Ronald.

Di sisi kiri pohon Taruh Menyan, terdapat tumpukan tengkorak manusia yang sengaja disusun di atas tembok batu. Sedangkan di bagian depan tembok bisa dijumpai aneka mata uang yang sengaja disebar di atas tanah.

Kesan menyeramkan sempat menyelimuti tim Suara Umat yang berkunjung di tempat ini. Namun sekali lagi, Mina memberanikan diri untuk berfoto di depan tumpukan tengkorak manusia yang dimakamkan di Trunyan.

Memberi Diri

Meski telah terurai oleh alam di tempat terbuka, uniknya jenazah yang dikuburkan di pemakaman Trunyan sama sekali tidak mengeluarkan bau. Hal itu diyakini memiliki kaitan erat dengan keberadaan pohon Taruh Menyan yang wangi dan memiliki kemampuan menyerap bau busuk.

Namun seiring dengan semakin banyaknya jasad yang dimakamkan di tempat itu, jelas Wayan, pohon Taruh Menyan tidak lagi mengeluarkan aroma wangi seperti di masa lalu.

“Dulu sebelum ada jenazah, pohon ini terkenal ke seluruh dunia karena wanginya. Tapi sekarang karena adanya jenazah di sini, bau dari jenazah hilang tapi wangi dari pohon ini juga ikut hilang,” imbuhnya.

Menurut Wayan pesan moral yang terkandung di baliknya fenomena ini berisi tentang makna pemberian diri, di mana pohon Taruh Menyan rela kehilangan wewangiannya akibat dari menyerap bau jasad manusia yang dimakamkan di sekelilingnya.

Menahan Keserakahan

Sesaat sebelum meninggalkan kompleks pemakaman, kawanan kera nampak berlarian di sekitar gapura makam Trunyan. Beberapa di antaranya mencoba mencari sisa makanan yang dibawa oleh pengunjung.

Menurut keterangan Wayan, kawanan kera tidak mengganggu keberadaan dari manusia yang datang ke tempat ini. Sebaliknya, mereka hanya mengambil sisa sesaji yang dipersembahkan di gapura pemakaman.

“Mereka Cuma mengambil makanan dari sesajen, lalu pergi kembali ke dalam hutan. Mereka cukup mengambil sebisa yang mereka makan saja,” ucapnya dengan nada tenang.

Sekali lagi Wayan menjelaskan tentang pesan moral yang tersimpan di balik kejadian itu bahwa manusia hendaknya selalu belajar dan mengingat dari apa yang telah diteladankan oleh alam, tentang pentingnya mengambil segala sesuatu sesuai dengan kebutuhan mereka sembari berlatih menahan diri dari godaan keserakahan.

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Skip to content